Ibu Rusmi namanya. Wanita usia menjelang enam puluh tahunan itu sudah lama sekali memiliki usaha warung di rumahnya, sebelum akhirnya tutup oleh sesuatu hal yang tak pernah ia sangka.
Mentari telah hampir berada di tengah-tengah, ketika bu Rusmi mematung di depan warung. Hanya bola matanya yang kerap kali berputar melirik ke kiri dan ke kanan, melihat orang-orang berseliweran melewati warung miliknya.
Kebanyakan dari mereka dulunya adalah pelanggan setia bu Rusmi, namun kini mereka enggan bahkan hanya untuk sekedar melirik dagangannya sekalipun.
Berpuluh tahun sudah bu Rusmi membuka usaha warung. Tak pernah ia mengalami kesulitan sesulit sekarang ini. Para pesaing yang mulai berjejeran bukan suatu penghalang. Sebab ia sudah memiliki banyak pelanggan. Namun entah mengapa beberapa minggu ini warungnya mendadak sepi, tak satu pun pelanggan yang mau mampir. Jika lama-lama seperti ini, bisa-bisa ia bangkrut.
"Ibu kenapa melamun?" sebuah suara mengagetkan bu Rusmi. Laksmi, anak perempuannya yang saat ini masih tinggal bersamanya.
"Enggak, nak. Ibu enggak melamun," balas bu Rusmi berbohong.
"Ibu jangan bohong. Ayo cerita sama Laksmi ada apa?" balas Laksmi.
Direngkuhnya pundak bu Rusmi.
"Ibu Cuma heran, nak. Kenapa orang-orang sekarang tidak ada yang mau mampir di warung ibu," cerita bu Rusmi.
"Tidak apa-apa bu, mungkin belum rezeki ibu. Lagi pula kan kalau tidak ada yang beli ya biar saja buat stok makan kita," balas Laksmi menyimpulkan tawa kecil, menghibur bu Rusmi.