Lihat ke Halaman Asli

Teks Kritik Film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" Ketika Cinta Terhalang Sebuah Adat

Diperbarui: 8 Maret 2021   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber : imdb.com)

Pada tahun 2013 Soraya Intercine Films merilis sebuah film yang juga diadaptasi dari sebuah novel karya Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, bahkan film ini menjadi film termahal yang pernah diproduksi oleh Soraya Intercine Films. Proses produksi yang menghabiskan waktu selama lima tahun dan penulisan skenario nya yang dilakukan selama dua tahun ini menghasilkan sebuah film yang luar biasa. 

Berlatar tahun 1930-an Buya Hamka menyampaikan nilai agama dan sosialnya melalui tulisannya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Seorang ulama asal tanah Minang ini menyampaikan kritik sosialnya terhadap suatu tradisi yang sudah mendarah daging yang berada di suatu daerah Nusantara. Nilai nilai agama juga sangat tertulis dan tertata rapih dalam karyanya ini. Sebuah film berlatar tahun 1930-an ini menceritakan kisah percintaan dengan sajian budaya lokal Nusantara. 

Menceritakan seorang tokoh yang bernama Zainuddin (Mahbub Herjunot Ali) yang jatuh cinta kepada gadis asal Minang bernama Hayati (Pevita Pearce). Namun cinta Zainuddin kepada Hayati kandas disebabkan oleh adat istiadat tanah Minang, yang menyebabkan Zainuddin melepaskan Hayati untuk menikah dan dipersunting oleh lelaki lain bernama Aziz (Reza Rahadian). Zainuddin harus ikhlas melepaskan gadis yang sangat dicintainya untuk menikah dengan Aziz yang memiliki tingkat sosial yang sama dengan Hayati menurut dari adat istiadat yang berlaku di daerah setempat.

Zainuddin hanyalah lelaki biasa yang memiliki darah Minang dari Ibunya dan ayahnya yang berdarah Bugis. Itulah yang menjadi masalah sebab ia harus merelakan Hayati. Karena dalam sistem Minang, nasab ibu atau darah keturunan ibu tidak diakui, sehingga hal itu menyebabkan Zainuddin tidak memiliki sistem atau taraf sosial yang sama di masyarkat tanah Minangkabau. 

Pada dasarnya masyakarat Indonesia melihat struktur sosial dalam sistem adat istiadat, yang dimana sistem adat menjadi patokan yang utama untuk mengelompokkan seseorang dalam golongan tertentu. Namun pada dasarnya sebuah sistem adat ada bukan untuk merendahkan status sosial seseorang, tapi untuk menyatukan adat istiadat dan budaya yang berlaku. 

Dari kisah seorang pria bernama Zainuddin ini terbukti bahwa adat istiadat dijadikan sebagai pengelompokan status dan nasab masyarakat dan dijadikan sebagai bahan untuk merendahkan seseorang. Disini adat istiadat bukan dijadikan sebagai visi hidup menuju ke arah yang lebih baik dengan menajadikan adat tersebut sebagai patokan, bukan dijadikan sebagai keteguhan diri dalam beragama dan tindak manusia bermoral yang paham betul akan agama.

Film ini sangatlah berbeda dari kisah cinta atau romansa biasanya, film ini tidak hanya menghadirkan kisah roman tapi juga banyak menonjolkan nilai estetika kehidupan yang sangat menarik dan memiliki keunggulan yang sangat kuat biasa. Film yang digarap dan diadaptasi dari novel karya Buya Hamka ini sungguh tidak hanya menyajikan kisah percintaan yang penuh pengorbanan saja, tetapi juga dimana suatu keadaan dan waktu tidak memihak membuat Zainuddin harus mengurungkan niat untuk bersama dengan orang yang begitu sangat dicintainya disebabkan oleh suatu adat istiadat yang begitu lekat hingga tidak dapat untuk dilepas. 

Mungkin kasus seperti ini masih ada terjadi sampai saat ini, bahkan masih sering dijumpai dalam kehidupan sehari hari, dimana suatu keunggulan dan kehebatan seseorang dilihat dari apa yang ia raih dan status sosial yang ia duduki. Padahal pada kasus Zainuddin dan Hayati ini, hayati berhasil membuktikan bahwa kebahagiaan hidup bukan dilihat dari perspektif harta dan material tetapi cinta yang tulus dan kebersamaan yang sangat kuat. Keluarga Hayati yang melihat seseorang dari perspektif harta dan material membuat anaknya menderita dan bahkan tidak hidup bahagia dengan segala sesuatu yang ada, bahkan setelah menikah Hayati tetap memikirkan cintanya yaitu Zainuddin.

Film ini juga mengajarkan kita untuk tetap bangkit walaupun dalam keadaan dan situasi yang memporak-porandakan hati. Zainuddin sempat terpuruk karena tidak bisa mendapatkan Hayati, ia marah dan benci akan suatu takdir adat yang digariskan dalam kehidupannya. Kendati begitupun ia tetap bangkit menjalani hidupnya, dengan berbekal tekad dan agama yang kuat ia meyakini hatinya untuk dapat bangkit dari semua keadaan yang sudah seperti benang kusut itu.

Ia bangkit menata dan merapihkan benang kehidupannya, hingga ia sukses menjadi seorang penulis dan mampu memiliki material yang bisa membawanya kembali untuk mendapatkan Hayati. Tapi disaat Zainuddin sudah memiliki kesempatan untuk mendapatkan Hayati kembali, takdir lagi lagi mempermainkannya. Kali ini takdir memisahkan Hayati dan Zainuddin begitu jauh, dengan tragedi tenggelamnya sebuah kapal Van Der Wijck yang menyebabkan Hayati meninggalkan Zainuddin untuk selamanya. Tapi walaupun takdir sudah memisahkannya sangat jauh dengan Hayati, Zainuddin tetap teguh dalam mengagumi seorang Hayati, wanita yang sangat dicintainya.

Novel yang luar biasa ini membuat para pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh yang ada di dalamnya. Bahkan para pembaca ikut merasakan betapa indahnya penggambaran daerah Minangkabau dengan paduan adat istiadat yang mengikat masyarakat di dalamnya. Buya Hamka berhasil membuat para pembaca merasakan gejolak yang luar biasa, bagaimana merasakan hati seorang Zainuddin yang hancur akibat tidak dapat bersama dengan Hayati. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline