Penerbitan obligasi daerah di Indonesia dapat terjadi karena beberapa alasan. Pertama, pemerintah daerah sering kali menghadapi keterbatasan kapasitas fiskal yang membatasi kemampuan mereka untuk membiayai proyek-proyek pembangunan besar dan penting. Obligasi daerah menyediakan sumber pembiayaan alternatif yang dapat membantu menutupi kekurangan dana ini tanpa harus bergantung sepenuhnya pada transfer dari pemerintah pusat. Kedua, obligasi daerah memungkinkan pendanaan proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan, yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Selain itu, dengan menerbitkan obligasi, pemerintah daerah dapat mendiversifikasi sumber pendanaannya, sehingga mengurangi ketergantungan pada satu jenis pendanaan dan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Proses penerbitan obligasi yang melibatkan studi kelayakan, perencanaan keuangan yang baik, dan persetujuan dari berbagai pihak juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek-proyek tersebut. Selain itu, obligasi daerah dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang mendukung
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti proyek energi terbarukan dan infrastruktur hijau, yang sejalan dengan upaya global untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Terakhir, penerbitan obligasi daerah di pasar modal domestik membantu mengembangkan pasar modal lokal dan memberikan kesempatan investasi bagi investor domestik, sehingga meningkatkan likuiditas pasar modal Indonesia secara keseluruhan. Secara keseluruhan, obligasi daerah menawarkan solusi strategis dan berkelanjutan bagi pemerintah daerah untuk mengatasi tantangan pembiayaan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Proses penerbitan obligasi daerah melibatkan berbagai tahapan mulai dari perencanaan, pengajuan usulan kepada Menteri Keuangan, hingga penilaian dan persetujuan oleh otoritas terkait. Pemerintah daerah harus menyiapkan studi kelayakan, membuat kerangka acuan kegiatan, memantau batas kumulatif pinjaman, dan mendapatkan persetujuan prinsip dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Obligasi daerah memiliki beberapa keunggulan, seperti memungkinkan pemerintah daerah mengakses dana besar untuk pembangunan infrastruktur, mengurangi ketergantungan pada transfer dari pemerintah pusat, dan mendiversifikasi sumber pendanaan. Selain itu, penerbitan obligasi daerah juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek-proyek publik, serta membantu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Namun, perwujudan obligasi daerah di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi beberapa tantangan yang menghambat implementasinya secara luas. Meskipun kerangka regulasi untuk penerbitan obligasi daerah telah ada sejak lama, belum ada pemerintah daerah yang berhasil menerbitkan obligasi ini. Beberapa alasan utama termasuk prosedur yang kompleks, kurangnya kapasitas teknis di tingkat daerah, dan kendala dalam memenuhi persyaratan administratif dan finansial. Sebagai contoh, berikut beberapa daerah di Indonesia yang gagal dalam mewujudkan kebijakan obligasi.
1. DKI Jakarta
Untuk 10 tahun ke depan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menerbitkan obligasi daerah untuk mempercepat pembangunan wilayah tersebut. Dalam konferensi pers yang diadakan di kompleks Istana Kepresidenan, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan membuat pernyataan tersebut. Namun, dia menegaskan bahwa investor akan tetap tertarik pada obligasi yang akan diterbitkan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Untuk kebutuhan investasi investasi pembangunan Jakarta sebesar Rp 571 triliun dalam sepuluh tahun ke depan, Presiden Joko Widodo ( Jokowi) telah memberikan persetujuan. Dana tersebut akan digunakan untuk menyelesaikan masalah di ibu kota seperti kemacetan dan kekurangan udara. Dananya juga digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Sistem transportasi massal seperti kereta api, LRT, MRT, dan jaringan bus akan dibangun. Selain itu, pemerintah DKI Jakarta akan membangun infrastruktur utilitas di ibu kota. Kas keuangan pusat dan daerah, investasi murni swasta, dan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) diperkirakan akan menyediakan dana besar ini.
Sejauh ini rencana penerbitan obligasi daerah baru mencapai tahap mendekati penerbitan, dan setiap daerah yang menerbitkan obligasi daerah menghadapi kendala. Sebab, Pemprov DKI Jakarta tidak menerbitkan obligasi daerah untuk pembangunan terminal Pulo Gebang yang akhirnya dibiayai oleh SiLPA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah menjadi direktur daerah yang baru.
Kegagalan dalam mewujudkan kebijakan obligasi daerah disebabkan oleh seringnya perbedaan pandangan antara Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. Hal ini menyebabkan timbulnya pro dan kontra di masyarakat, sementara tujuan utama dari obligasi adalah untuk mempercepat pembangunan Kota Jakarta. Selain itu, terdapat juga sikap arogansi dari pihak-pihak yang menentang obligasi, dengan menganggap bahwa Jakarta tidak memerlukan obligasi APBD DKI Jakarta sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan pembiayaan daerah. Semua alasan ini menunjukkan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang obligasi daerah belum sepenuhnya tersosialisasi di masyarakat.
Padahal, meskipun APBD Jakarta surplus, untuk mewujudkan visi Jakarta sebagai kota besar yang setara dengan kota-kota besar di dunia, diperlukan dana yang signifikan. APBD DKI Jakarta saja tidak akan mencukupi untuk mempercepat pembangunan dan kemajuan Kota Jakarta. Saat ini, arogansi yang menyatakan bahwa DKI Jakarta tak butuh utang atau obligasi sudah tak berlaku lagi. Faktanya, Pemprov DKI Jakarta harus berutang dari BUMN demi mendukung pembangunan dan proyek di DKI Jakarta.