Lihat ke Halaman Asli

Mucikari

Diperbarui: 28 September 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hari ini hari yang aneh bagi sy, bagaimana tidak, semalam sy bermimpi menjadi seorang mucikari kondang. Dalam mimpi sy dikerumuni banyak orang, mereka mengumpat, menghujat, menghina, mencaci, bahkan memukul. Sy menangis tersedu-sedu, tak ada seorangpun yg menemani, membela apalagi menghibur. Ketika terbangun, bulir-bulir peluh sebesar biji jagung telah luruh membasahi wajah, nafas menjadi tdk teratur serta terpacu lebih cepat, badan terasa lemas dan pegal. Sy berusaha rileks dgn berjalan-jalan sebentar di kebun depan rumah. Aneh sekali, tak ada seorangpun yang sy jumpai hari ini mengajak berbicara, hanya menatap sekilas dengan tatapan yang tidak sy mengerti lalu berpaling. Biarlah, semua akan baik-baik saja, pikirku. 

Seperti yang sudah dijadwalkan, hari ini sy akan kembali ke kota, perjalanan untuk sampai kesana kira-kira menghabiskan waktu satu setengah jam. Sy bergegas bersiap diri, mandi juga menyiapkan bekal yang akan dibawa. Tapi kali ini tidak seperti biasa, sy melakukan semuanya seorang diri, tanpa dibantu orang-orang yang sedang berada di rumah. Ibu yang biasanya selalu bawel menuntut sy bawa ini itu kali ini hanya diam, ia hanya melihat dari kejauhan lalu pergi ketika sy memergokinya. Keponakan yang baru berusia lima tahun, yang biasanya selalu mengomel saat sy sedang beres-beres bersiap pergi, kali ini hanya melihat tanpa berkata-kata lantas pergi. Bahkan ketika semua telah siap dan sy akan pergi, ibu tidak menampakkan diri, rupanya ia sedang berada di kamar, sy panggil ia ketika sy sudah berdiri di depan pintu kamar,

"Bu, sy pamit mau berangkat",ucapku dengan nada halus namun tegas

Beberapa detik tak ada jawaban,sy panggil sekali lagi, 

"Bu,sedang tidurkah? yasudah sy berangkat",kali ini dengan nada lebih tegas. Dengan langkah gamang, sy berangkat ke kota tanpa mencium tangan ibu terlebih dulu. 

Hari telah siang ketika itu, angkutan umum mudah saja ditemui, sy menaiki angkutan yang penuh sesak dengan penumpang. Tak ada yang mencoba mengajak berbincang selama dalam perjalanan, sy pun lebih memilih diam. Tidak ada percakapan, hanya sesekali terdengar suara penumpang yang berteriak ketika akan turun. Namun tatapan mereka berkata lain, hampir dari mereka semua sesekali memandang ke arah sy, lalu berpaling saat sy membalas menatap. Sungguh tatapan yang sama sekali tidak sy mengerti. Sy pikir itu hanya perasaan sentimentil sy terhadap mimpi buruk pagi tadi. Setibanya di depan gang kecil tempat kos sy tinggal, sy turun dari angkutan, untuk sampai disana, sy masih harus berjalan kaki kira-kira dua ratus meter. Baru beberapa langkah berjalan, sy melihat ada kerumunan orang di ujung gang, sy bergegas menghampiri, ikut berdesakan dalam kerumunan, mencoba melihat siapa yang sedang dikerumuni. Betapa kagetnya ketika sy telah berada dibarisan paling depan kerumunan itu, sy melihat sosok wanita yang sangat sy kenal. Ia terlihat menangis sesenggukan, matanya sembab, bibirnya bergetar sambil sesekali bergerak pelan, samar-samar sy menangkap apa yang ia ucapkan, 'ampun tolong jangan sakiti sy, tolong'. Suara paraunya redam dalam bising teriak orang-orang yg mengerumuninya, ada yg memaki 'asu buntung, germo, babi', ada yg menghujat 'biadab, jahanam', bahkan ada yang berusaha memukul, menjambak juga mendorong tubuhnya. Tak kuasa sy melihat itu semua, dada sy bergemuruh demikian hebat, kaki juga tangan sy gemetar, bibir hendak mengatakan sesuatu tetapi serasa beku. Sy limbung, tubuh sy lemas dan terjatuh begitu saja ditengah-tengah kerumunan. Setengah sadar sy melihat orang-orang membopong tubuh sy menjauhi kerumunan. Dalam hati sy mengumpat diri sy yang lemah, yang tidak bisa menolong wanita dalam kerumunan itu, sosok wanita yang tak lain adalah diri saya. 

**

Bulir keringat sebesar biji jagung kembali membasahi, kali ini bukan hanya wajah, leher, punggung sampai tengkuk basah oleh peluh keringat. Sy mengusap keringat dengan lengan, meraba-raba wajah, mencubit pipi, sy merasakan rasa sakit. Seketika senyum tipis terkembang dari bibir, dalam hati sy bersyukur dan merasa lega, ternyata semua yang sy alami tadi hanya mimpi [].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline