Beberapa tahun terakhir ini, perkembangan media sosial semakin pesat. Mulai dari facebook, twitter, whatsapp, instragram, chat, dan sebagainya. Di suatu sisi media sosial dapat memberi kemudahan dan menimbulkan dampak positif bagi kehidupan manusia. Setiap individu dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan mudah dan cepat, serta dapat menjalin hubungan pertemanan dengan individu lain dari daerah maupun negara lain. Individu juga dapat memanfaatkan media sosial untuk berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman, bahkan mempromosikan hasil kerajinan yang dapat dijual melalui media online. Namun di sisi lain, perkembangan media sosial dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia, salah satu diantaranya adalah dapat memicu munculnya perilaku narsis.
Perilaku narsis menjadi fenomena yang cukup banyak melanda kalangan masyarakat saat ini[1]. Kecenderungan perilaku ini semakin sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di media sosial. Salah satu aktivitas yang sering dilakukan adalah selfie atau memotret diri sendiri, kemudian mengunggahnya ke media sosial. Posting update status, memperbaharui profil informasi, serta mengomentari status seseorang seolah sudah menjadi bagian dari gaya hidup individu masa kini. Media sosial juga sering digunakan untuk mengupload aktivitas keseharian bahkan video yang bersifat pribadi diumbar tanpa malu-malu. Segala hal yang dulu dianggap tabu dan risih, sekarang seolah-olah tidak masalah jika diperlihatkan ke seluruh dunia.
Pesatnya pengguna media sosial seperti facebook dan twitter dikalangan masyarakat, dapat memicu munculnya fenomena sosial berupa "krisis identitas"[2]. Individu memiliki keinginan yang kuat untuk diperhatikan secara terus menerus, seperti keingian bayi untuk mendapatkan perhatian dari ibunya[3].penggunaan facebook dan twitter secara berlebihan dapat berdampak pada otak manusia atau rewirre the brain, seperti berkurangnya kemampuan berkosentrasi, ingin mendapatkan gratifikasi dan pada gilirannya dapat memicu kehilangan identitas[4]. Generasi yang terobsesi dengan dirinya sendiri maka akan mendorong muncul sikap selfistis[5]. Sikap selfistik atau selfi secara berlebihan merupakan salah satu indikator individu mengalami gangguan keperibadian narsistik.
Gangguan kepribadian narsistik atau disebut juga dengan istilah narcissistic personality disorder terjadi akibat adanya sikap atau perilaku seseorang yang secara berlebihan dalam memandang keunikan atau kelebihan yang dimiliki, sehingga menimbulkan fantasi yang berlebihan terhadap dirinya sendiri[6]. Individu yang mengalami gangguan kepribadian narsistik selalu mengharapkan perhatian dan pemujaan yang berlebihan terhadap dirinya, suka memperlihatkan kelebihan yang dimuliki secara berlebihan serta menganggap sikap dan perilakunya hanya dapat dimengerti serta dipahami oleh orang-orang tertentu. Akibatnya adalah melahirkan sikap yang kurang empati terhadap orang lain, arogan, iri, ingin diperlakukan secara istimewa oleh orang lain, selalu mencari perhatian, ingin dipuja, takut gagal, sensitif terhadap keritikan[7].
Orang yang mengalami gangguan kepribadian narsistik terkadang sering merasa kecewa terhadap dirinya, lalu mencari orang-orang yang dianggapnya ideal dengan tidak mengizinkan orang lain menjalin hubungan. Jika ada orang lain dianggap mampu menyainginya, ia akan marah dan berupaya menyingkirkannya.
[1] Rahman, T. G., & Ilyas, A. (2019). Perilaku Narsistik Pengguna Media Sosial di Kalangan Mahasiswa dan Implikasi dalam Layanan Bimbingan Dan Konseling. E-Journal Pembelajaran Inovasi, Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 7(4), 1-8.
[2] Hidayah, N., & Huriati, H. (2017). Krisis identitas diri pada remaja "identity crisis of adolescences". Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman, 10(1), 49-62.
[3] Holilah, I. (2017). Dampak Media Terhadap Perilaku Masyarakat. Jurnal Studi Gender dan Anak, 3(01), 103-114.