Lihat ke Halaman Asli

Korupsi Riwayatmu Kini

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kualitas hidup rakyat merupakan salah satu pencapaian peran pemerintah. Membentuk suatu tatanan kenegaraan yang terstruktur rapi, yang tertuang dalam sebuah peraturan kenegaraan, kebijakan hukum, undang-undang, tata nilai merupakan hal yang dapat dilakukan. Pembangungan fasilitas dan infrastruktur yang memadai sebagai penunjang pencapaian kualitas hidup rakyat juga merupakan peran pemerintah. Namun, usaha-usaha tersebut sering terhambat dengan adanya praktik-praktik tidak bertanggung jawab dari pemerintah, yang menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan golongan, menempatkan kepentingan golongan atau kelompok di atas kepentingan negara.  Permasalahan terbesar sebagai penghambat pencapaian kualitas hidup rakyat tersebut adalah praktik korupsi. Tidak jarang dalam beberapa kasus, praktik korupsi dilakukan dalam prosedur. Sehingga, hal ini dianggap legal dan termasuk hal yang lumrah terjadi. Sungguh konflik laten yang di ‘rekayasa’, agar seolah-olah tidak terjadi dan tidak ditindaklanjuti. Hal inilah yang membuat korupsi di pemerintahan kita membudaya dan mengakar di seluruh lapisan pemerintahan. Potret pemerintahan tercoreng dengan perilaku memalukan tersebut. Setelah kabar baik tentang kondisi perekonomian kita pada tahun 2009, ternyata pemerintah kita telah mengantarkan Indonesia sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik dari 16 negara yang menjadi tujuan investasi bisnis berdasarkan data Political and Economic Risk Consultancy (PERC) di Hong Kong tahun 2010, serta menjadi negara ke-3 terkorup di dunia. Kita lihat saja dari berbagai kasus besar di beberapa akhir tahun ini, hampir seluruhnya merupakan kasus korupsi, hingga menutupi berita tentang prestasi anak bangsa. Dimulai dari kasus ‘Cicak vs Buaya’, drama Century yang hingga sekarang masih dalam episode tergantungkan, korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), gonjang-ganjing aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), kasus suap Wisma Atlet Jakabaring Februari lalu, permainan uang dalam proses pemilihan Gubernur BI (Miranda S Gultom), dan masih banyak kasus-kasus korupsi yang belum tersentuh media.

Berita dari salah satu Koran Nasional tertanggal 15 Juni 2011 tentang “Masyarakat Kian Permisif terhadap Korupsi” sangat mengejutkan. Dalam tulisan ini, memaparkan bahwa fenomena yang terjadi saat ini korupsi merupakan suatu hal yang telah memunculkan budaya bahkan ideologi apatisme yang timbul di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini nyata terjadi, dibuktikan dengan beberapa pejabat yang menjadi terdakwa korupsi, akan tetapi masih memenangkan pilkada di daerah pencalonannya. Misalnya, Yusak Waluyo yang memenangkan Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Papua. Faktanya, dia sudah divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor dalam korupsi APBD Rp 66 miliar. Kemudian, ada Jefferson M Rumaja yang memenangkan Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Ia juga tersangkut korupsi APBD 2006-2008 Rp 19,8 miliar (Kompas 15/06/12). Dari sifat permisif tersebut, dapat manimbulkan sebuah ideologi yang melegitimasi tindakan koruptifnya dengan memunculkan budaya dan lingkungan yang membuat orang disekitar mudah melakukan tindakan korupsi. Dari segi lingkungan, hal ini dibuktikan dengan memunculkan lingkungan yang lambat laun para birokratpun akan permisif terhadap tindakan koruptif.

Melihat fenomena tersebut, penanganan korupsi di Indonesia memiliki segudang permasalahan yang klasik dan sistemik. Maka dari itu, permasalahan korupsi ini sebenarnya dapat terselesaikan jika tumbuh kesadaran pada diri masing-masing individu melalui berbagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran itu sendiri. Pertama, reformasi sistem politik. Sebagaimana kita tahu bahwa, Indonesia baru hanya sebatas reformasi sistem pemerintahan semata. Namun, tidak merubah tradisi ‘politik kepentingan’ budaya birokrasi koruptif yang justru semakin berkembang biak dan berjaring. Adanya upaya penyehatan sistem kultur politik dengan mengubah pola informasi menjadi terbuka, ideologisasi etika publik yang mengarah pada aspek moral bagi para pelaku politik dalam berdemokrasi dan bertanggung jawab pada amanahnya. Kedua adalah Pengembangan pendidikan bernegara, Titik tekannya adalah bagaimana seluruh jajaran pemerintahan dan masyarakat mendapat proses pengideologisasian karakter secara intensif yang didekatkan dengan nilai-nilai kebhinekaan, moral, dan nilai kedaulatan dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat terjadi jika ada kesinambungan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus tegas dalam setiap penanganan hukum serta pemberian apresiasi dan perlindungan kepada pelapor tersangka korupsi, kerena sejauh ini yang melaporkan malah menjadi tersangka. Hal ini yang membuat pemerintah maupun rakyat enggan berurusan dengan mafia-mafia hukum tersebut.

Melalui solusi yang ditawarkan, diharapkan terjadinya proses keseimbangan dalam pemerintahan dan budaya pertisipasi masyarakat yang legitimate dengan pengidiologisasian yang mengarah pada kepentingan publik  diharapkan juga mampu mewujudkan pemurnian dalam tradisi pemerintahan kita yang bebas dari korupsi. Semoga saja!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline