Lihat ke Halaman Asli

Bencana Alam, Dampak Kacang Lupa Kulit

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bencana alam yang terjadi di awal tahun 2014 bagaikan mata rantai yang tak terputus di negeri ini. Belum usainya banjir yang menggenang Jakarta, Manado menyusul dengan banjir yang lebih dahsyat, Kudus, Pati, Jepara, Semarang hingga Lampung yang tak tertinggal untuk ditenggelamkan. Tanah longsor di Jombang, gempa di pantai selatan jawa, melengkapi Sinabung yang hingga detik ini masih menunjukkan amarahnya.

Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, terdapat 182 kejadian hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor selama Januari 2014. Akibatnya 137 tewas, 1,1 juta jiwa mengungsi dan menderita, 1.234 rumah rusak berat, 2.586 rumah rusak sedang dan kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, dan sebagainya

Indonesia, seperti telah akrab dengan segala bencana yang pernah singgah selama ini. Telah lama ia bersendau gurau dengan bencana, hingga awal tahun 2014 ia digeber dengan Negeri Siaga Bencana di berbagai media. Dari layar kaca terlihat jelas bahwa alam menunjukkan sikapnya kepada manusia yang sudah tak lagi bersahabat dengannya.

Karena Salahku?

Dengan begitu banyaknya bencana yang diturunkan di negeri ini, tidak bertanyakah siapa penyebab alam begitu marah? Apakah penyebab itu sesungguhnya ada dalam setiap pribadi yang telah banyak menikmati kekayaan alam yang terhampar di negeri ini? Pribadi yang sering melempar bungkus permen seenaknya, pribadi yang sering meninggalkan rumah dengan kondisi lampu masih menyala. Prilaku-prilaku sepele yang justru menjadi penyebab alam ini marah besar.

Indonesia, negeri yang dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Gas, minyak bumi, berbagai hasil tambang, kekayaan laut, hutan, hingga ia menjadi rebutan penguasa berbagai negeri. Kekayaan alam yang sering diabaikan, hingga ia menjadi penyedia fasilitas penyambung hidup tanpa dirawat dan dijaga oleh penghuninya sendiri. Kerakusan, keegoisan yang telah menutup mata hati para pengguna alam.

Lihat saja banjir Jakarta yang hingga saat ini belum ditemukan solusinya. Mungkin salah satu penyebabnya adalah kita yang sering menganggap bahwa melempar bungkus permen adalah hal kecil yang tidak akan menyebabkan kerugian bagi siapapun. Tapi pada kenyataannya, dengan prilaku sepele kita itulah justru menjadi penyebab utama bencana banjir. Bayangkan, jika semua orang berpikir “Ah, hanya bungkus permen gak masalah kalau dibuang begitu saja.” Bungkus permen memang kecil, tapi jika hal tersebut dilakukan oleh hampir seluruh bangsa Indonesia, tidak mustahil banjir juga akan datang begitu saja.

Eksploitasi saat ini bukan lagi menjadi konsumsi pengusaha kaya, namun juga sudah menjadi konsumsi masyarakat kecil. Pengrusakan dengan meracuni sungai-sungai, membabat hutan, penambangan pasir yang secara masif yang juga menjadi salah satu penyebab awal dari bencana alam. Kita sendiri, sebagai penghuni negeri ini yang tega merusak kekayaan dan keindahan alam negerinya. Pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan, pencemaran sungai dengan sampah dan limbah pabrik demi sebuah industrialisasi.

Para politisi yang tak kalah hebat dengan janji-janji manis yang ternyata mengelabui rakyatnya. Mereka yang seolah berjuang demi kesejahteraan rakyat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membangun lahan bisnis dalam skala besar, misal apartemen mewah, real estate, sport center kelas atas (lapangan golf atau sirkuit balap), hingga pusat perbelanjaan. Namun justru, menjadi penyebab banjir karena hilangnya resapan air yang tersedia dan akibatnya akan dialami oleh rakyat yang pernah memberi kepercayaan penuh kepadanya untuk membangun negeri.

Alam ini sungguh kaya, hingga kapanpun dan dimanapun kita mampu menikmati apa yang telah disediakan. Namun kitalah yang sering lupa untuk membuat alam ini betah melayani kita. Hanya mendulang kenikmatan tanpa susah-susah menjaga dan merawatnya. Alam ini berjalan berdasarakan rumus saling menghargai, jika rumus dirusak oleh prilaku manusia yang tidak bertanggungjawab maka jangan heran jika bencana akan selalu datang.

Tidak ada kata terlambat untuk melakukan instrospeksi diri bahwa bencana alam disebabkan oleh kita yang sering lalai menjaga alam. Saling menjaga dan merawat alam, seperti kita ingin menjaga garis kehidupan hingga anak cucu nanti. Menjaga dan merawat alam hingga ia betah dan siap untuk kita tempati. Alam ini telah banyak memberikan fasilitas dan kenikmatan hidup yang kita butuhkan, untuk itu jaga dan rawatlah ia.  Agar kita tidak seperti kacang yang lupa akan kulitnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline