Di generasi milenial ini, anak Sekolah Dasar belum bisa membaca adalah hal yang lumrah. Bahkan saat ini anak yang sudah di jenjang Menengah Atas juga ada yang masih belum bisa membaca. Hal ini menjadi sorotan bagi mahasiswa Hukum dan Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang untuk melakukan penelitian.
Berdasarakan keterangan salah satu Kepala Sekolah Dasar di Kota Batu yang menjadi lokasi penelitian, jumlah siswa-siswi di sekolah beliau yang masih belum bisa membaca meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumya. Penyebab dari kenaikan jumlah tersebut adalah karena pada kurikulum saat ini, anak yang belum bisa membaca harus tetap dinaikkan karena jika anak tidak dinaikkan mereka bisa merasa malu dan tertekan.
“Membaca dan menulis adalah kemampuan paling mendasar yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Jika kemampuan mendasar ini belum dimiliki oleh seorang siswa maka itu menjadi permasalahan serius yang harus diperhatikan. Karena, masalah ini akan membuat seorang siswa sulit memahami materi selanjutnya” ungkap Anisak Wulan, mahasiswa HKN Universitas Negeri Malang.
Menyikapi masalah tersebut, Anisak Wulan dan timnya melakukan model belajar Membaca Tanpa Mengeja gagasan dari bimbingan belajar (bimbel) CABACA (Cepat Bisa Baca Tanpa Dieja). Model belajar ini dilakukan dengan tanpa harus mengeja per huruf seperti yang dilakukan pada proses belajar membaca biasanya. Tujuan dari penggunaan model ini yaitu agar anak-anak bisa membaca dalam waktu yang singkat.
“Dengan menggunakan model ini, maka siswa tidak harus mengeja setiap huruf, melainkan langsung membentuk 1 suku kata, sehingga akan lebih cepat dalam proses pembelajarannya” tutur Widya Putri.
“ Contohnya yang biasanya kata “kaca” di eja dengan k,a=ka, c,a= ca menjadi kaca, berbeda dengan model ini yaitu dengan ka+ca menjadi kaca” sambung Aditya.
Pada dasarnya model pembelajaran ini hanya memfokuskan pada pembelajaran membaca saja. Tetapi untuk bisa mengatasi dua permasalahan sekaligus yaitu membaca dan menulis, maka Anisak Wulan dan timnya,juga menambahkan pembelajaran menulis. Tahapan pembelajaran yang dilakukan yaitu (1) para siswa melakukan pengenalan alphabet menggunakan ‘Alphabet Card’ (2) para siswa diarahkan membaca kata-kata pada buku (3) berlatih menulis apa yang telah dibaca. Awalnya para siswa menebali sebuah tulisan yang putus-putus lalu dilanjutkan menulis dengan di dikte.
“Dengan metode belajar membaca seperti ini, kami berharap bisa menjadikan para siswa dapat belajar membaca dan menulis dalam waktu yang singkat”, tutur Aisyah Putri. “ Kami juga berharap, metode ini tidak hanya dilakukan pada sekolah saja, tetapi juga bisa diterapkan oleh para orang tua untuk megajari anak-anak mereka ketika di rumah” lanjut Aditya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H