Lihat ke Halaman Asli

Kondisi Tonic Immobility Sebagai Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal

Diperbarui: 9 Desember 2023   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Komunikasi menjadi sebuah sarana yang digunakan manusia untuk menyampaikan ide, pendapat, persepsi, maupun gagasan kepada manusia lainnya. Selain itu, komunikasi dapat mempengaruhi orang lain untuk dapat berpikir dan berperilaku seperti yang kita inginkan. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dengan mengunakan media dari komunikator kepada komunikan sehingga menimbulkan efek. Komunikasi adalah proses yang terus berlangsung secara dinamis dalam menerima dan mengirim pesan dengan tujuan berbagi makna. Pada akhirnya komunikasi bertujuan untuk mencapai kesepahaman antara dua individu atau lebih mengenai pesan yang disampaikan.

Terdapat beberapa konteks dalam komunikasi, salah satunya komunikasi yang berkaitan langsung dengan hubungan antar manusia adalah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal atau interpersonal communication adalah komunikasi antar individu secara tatap muka yang memungkinkan komunikan dan komunikator menangkap reaksi lawan bicaranya secara langsung, baik secara verbal ataupun non-verbal. Komunikasi interpersonal merupakan suatu kemampuan dalam membina hubungan yang baik antar manusia yang satu dengan manusia yang lain. Interaksi dengan orang lain mengakibatkan terjadinya pengenalan diri sendiri bahkan orang lain, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain.

Dalam situasi tertentu, hambatan dalam proses komunikasi dapat terjadi, hambatan yang terjadi di antaranya adalah hambatan personal dan hambatan lingkungan. Hambatan personal merupakan hambatan yang terjadi pada komunikator maupun komunikan yang meliputi sikap, prasangka, emosi, bias, stereotip, dan semua hal yang berasal dari diri individu. Sedangkan hambatan lingkungan berbicara mengenai latar belakang situasi dimana komunikasi ini terjadi. Hambatan jenis ini mencakup aktivitas, kenyamanan, gangguan, hingga waktu. Kedua jenis hambatan ini biasanya selalu berkaitan dan memengaruhi satu sama lain. Ketika tubuh kita mengenali ancaman, otak dan sistem saraf otonom kita bereaksi dengan cepat, melepaskan hormon seperti kortisol dan adrenalin. Hormon-hormon ini memicu perubahan fisik yang membantu mempersiapkan kita untuk menghadapi ancaman, baik itu melibatkan bahaya fisik, emosional, atau bahaya yang dirasakan sehingga individu secara sadar maupun tidak sadar akan melakukan komunikasi berupa penolakan dan pertahan diri.

Hambatan lingkungan yang konteksnya membahayakan umunya berupa pelecehan seksual, tindak kekerasan, hingga aksi penyerangan.  Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Catcalling, sentuhan fisik maupun verbal yang tidak diinginkan, pemerkosaan, dan lain sebagainya termasuk dalam perilaku sexual harassment. Sexual harassment dapat terjadi dimana saja bahkan dilingkungan yang dianggap aman seperti sekolah, kampus, bahkan di sekitar rumah. Hal tersebut membuat korban akan mengalami traumatis pasca mengalami kejadian seperti menjadi takut pergi kesekolah atau menjauh dari pelaku.

Pelecehan seksual akan berdampak kepada psikologis korban, kebanyakan korban mengalami Tonic immobility ketika pelecehan terjadi. Tonic immobility adalah metode pertahanan tubuh yang tak disengaja, di mana seseorang dapat mengalami hambatan motorik sementara atau kelumpuhan sementara sebagai respon dari ketakutan ekstrim. Tonic immobility dirasakan seperti kehilangan kemampuan untuk menggerakkan badan dan anggota gerak, penurunan detak jantung, dan peningkatan ketegangan otot. Jadi, dalam kondisi tonic immobility, walaupun seseorang menginginkan perlawanan seperti berteriak, mendorong, melawan, dan sejenisnya, namun tubuh malah bertindak sebaliknya.

Pada dunia hewan, Tonic immobility sering kali ditemukan hewan yang berpura-pura mati ketika menghadapi ancaman ekstrem yang membahayakan nyawanya. Tonic immobility dapat terjadi secara alami sebagai insting terhadap serangan predator seperti yang dilakukan oleh hiu putih, orca, hingga ayam yang mengalami stres. Pada manusia, tonic immobility sering kali terjadi ketika seseorang mengalami kejadian yang tiba-tiba dan mengakibatkan keterkejutan dalam waktu yang cenderung cepat. Ketika memasuki kondisi tersebut, tubuh seseorang akan secara otomatis mengalami kondisi semacam kelumpuhan seperti kaku, bisu, mati rasa, perasaan terbius, serta situasi lain yang membuatnya seolah kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri.

Hingga kini, masyarakat masih banyak yang belum teredukasi dan memahami bahwa Tonic immobility merupakan hal yang nyata adanya dan bisa terjadi kepada siapa saja. Minimnya kesadaran ini menimbulkan stigma negatif pada korban pelecehan seksual, masyrakat awam menganggap bahwa seorang korban berarti tidak mempermasalahkan atau menerima pelecehan yang dialaminya karena tidak memberikan perlawanan apapun. Studi yang diterbitkan oleh Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica di tahun 2014 memberikan bukti bahwa 70% dari 300 orang penyintas kejahatan seksual mengalaminya saat kejadian, serta 48% di antaranya mengalami kondisi tonic immobility yang ekstrem. Hal ini menjadi bukti valid bahwa kebanyakan korban bisa memasuki kondisi tersebut. Di samping itu, korban juga akan mengalami masalah depresi pasca kejadian yang tidak diinginkan tersebut terjadi. Sayangnya, kondisi psikologis ini sering diabaikan ketika korban dihadapkan pada proses hukum yang membuat mereka kesulitan menjelaskan kondisi mereka saat kejadian. Kondisi ini juga membuat penyintas kejahatan seksual mengalami depresi lebih dalam setelah melaporkan kejadian yang mereka alami. Ketidakmampuan korban dalam membela diri akibat tonic immobility adalah hal yang di luar kuasa seorang individu, hambatan motorik yang terjadi menyebabkan tidak bisanya korban merespon bahaya yang dihadapi. Dalam komunikasi interpersonal terdapat istilah self-disclosure atau keterbukaan diri. Hal ini dimaksudkan untuk membangun hubungan yang lebih dekat dan lebih dalam lagi dengan orang lain. Interaksi yang dilakukan juga akan lebih mendalam. Isi pesan yang disampaikan dalam sebuah interaksi cenderung lebih privasi.

Pelecehan seksual yang dialami seseorang juga akan berdampak pada self-disclosure individu, setelah mengalami pelecehan individu cenderung menjadi lebih tertutup, kesulitan mengekspresikan diri, bahkan mengalami gangguan kecemasan saat berada di keramaian. Secara psikologis, pengalaman tersebut dapat memberi dampak kearah yang negatif bagi korban, korban pelecehan seksual itu cenderung tertutup, sulit beradaptasi, bermuatan energi negatif, dan sensitif. Korban menjadi semsitf dan menjadi lebih emosional dan mudah marah. Marah dapat diartikan sebagai emosi yang bersifat negatif yang biasanya dapat menyebabkan pencerobohan, menyakiti dan bahkan dapat merosakkan. Caplin menyatakan bahawa, marah, murka, berang, gusar, kemarahan, keberangan, kegusaran (anger) diartikan sebagai reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh berbagai situasi merangsang, termasuk ancaman, pencerobohan lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi yang dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem saraf otonomik, terutamanya oleh reaksi kekecewaan pada bahagian simpatetik, dan secara implisit di sebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau nonverbal.

Dampak negatif psikologis tersebut tentunya dapat mengubah perilaku seseorang termasuk perilaku komunikasinya. Trauma yang dirasakan korban sangat mendalam dapat menjadi faktor ketidakterbukaannya kepada orang lain. Menjadi korban sexual harassment yang saat ini masih menjadi suatu aib sehingga korban memilih untuk menyimpan cerita tersebut untuk diri sendiri. Padahal self-disclosure merupakan salah satu upaya seseorang berdamai dengan trauma yang dialaminya, self-disclosure perlu dilakukan agar korban mendapatkan bantuan dari pihak lain. Sehingga hal tersebut membuat semakin banyak kasus yang terlaporkan meskipun masih lebih banyak kasus pelecehan seksual yang tidak terlaporkan.

Perilaku komunikasi yang berubah ini juga disebabkan karena sanksi sosial yang diterima korban pelecehan seksual yang mengalami tonic immobility. Rasa malu yang dialami korban karena adanya justifikasi dari pandangan masyarakat bahwa apa yang dialami korban tidak dapat dikategorikan sebagai pelecehan karena tidak adanya perlawanan. Kemudian korban cenderung menyalahkan dirinya sendiri dan merasa bahwa apa yang telah terjadi adalah murni kesalahannya karena tidak membela diri. Padahal, yang perlu disalahkan sepenuhnya adalah pelaku yang tidak punya kontrol diri di dalam lingkungan masyarakat. Sejatinya, tidak ada manusia yang pantas mengalami pelecehan seksual, baik laki-laki maupun perempuan. Semua orang, termasuk dari gender dan rentang usia, semuanya memiliki peluang untuk menjadi korban pelecehan seksual. Studi ini dilakukan dengan harapan dapat menjadi acuan bagi korban sexual harassment dalam melakukan keterbukaan terhadap orang terdekat mengenai hal yang dianggap sebagai aib. Selain itu, penelitian ini bermanfaat bagi kita yang dapat berlaku sebagai komunikan dalam menyikapi keterbukaan korban sexual harassment.

Penelitian yang dilakukan oleh Anna Moller, Hans Peter Sondergaard, dan Lotti Helstrom pada Acta Obstetricia et Ginecolgica Scandanavica, menyatakan bahwa dari 298 perempuan yang mengalami kekerasan seksual, ada 70% yang mengalami tonic immobilty dan 48% mengalami tonic immobility ekstrim. Dari data di atas, kita bisa tahu bahwa ternyata cukup banyak korban yang mengalaminya. Karena hal ini terjadi secara alamiah, maka sebenarnya korban pun tak bisa mengelak saat mengalami tonic immobility. Namun, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan guna mengurangi dan mengatasi tonic immobility, pertama adalah dengan menarik dan membuang nafas panjang, agar pernapasan kita lebih teratur dan dapat fokus berpikir. Kedua, Pikirkan apa yang seharusnya kita lakukan dan coba untuk mengomunikasikannya dengan otak dan tubuh. Terakhir, mendatangi psikiater dan psikolog adalah upaya yang dapat membantu korban mengatasi rasa traumanya, dan dengan harapan dapat kembali menjalani hidupnya dengan normal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline