Lihat ke Halaman Asli

Anisa

Mahasiswi

Bunga Balai

Diperbarui: 29 April 2024   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa hari lalu aku menamatkan tiga puluh juz Al-Qur'an pada usiaku yang baru menginjak sepuluh tahun. Emak dan Ayah memang sudah berhajat untuk menggelar majlis sederhana saat aku sudah mengkhatamkan Al-Qur'an.

Hari ini, di rumahku, sanak saudara dan para tetangga sudah ramai dan sibuk menyiapkan acara khataman. Para ibu-ibu memasak jamuan untuk dihidang pada para tetamu dan kumpulan nasyid yang datang nanti. Ada nasi beserta lauk-pauk, kue ketayap, lepat pisang, juga pulut sekaya. Sedangkan para remaja sibuk menghias ruang tamu dengan kain hiasan dan sedikit bunga-bunga sebagai dekorasi di dinding.

"Kak Isymah, Mak panggil Akak tadi." Adikku berlari menghampiriku bersama sepupu-sepupu kami yang masih sebaya dengannya.

"Emak dimana, Abidah?" tanyaku. Sebab sesudah makan siang pukul sebelas tadi, aku belum melihat Emak lagi.

"Emak di dapur, Kak," balasnya.

Aku berjalan menuju dapur. Kulihat Emak, Andung dan Ucu Ina tengah mempersiapkan bunga balai. Balai dari kayu bersegi empat yang bertingkat tiga itu, kerap digunakan di berbagai upacara adat. Balai disusun sesuai dengan urutan, yang pertama adalah pulut kuning serta daun pisang yang dilipat berbentuk segitiga. Pada balai kedua akan diletakkan masukan inti beserta ayam gulai. Kemudian bunga kemuncak pada balai ketiga, juga bunga telur, yaitu bunga balai yang diisi telur rebus disusun di setiap tingkat balai. Bunga balai biasanya berwarna kuning, sementara pada acara khataman seperti sekarang, bunga yang digunakan berwarna putih. 

"Isymah bersiaplah, sekejap lagi acara nak dimulakan!" suruh Emak padaku.

"Iya, Mak." Aku mengangguk.

"Ulung dah makan? Kalau belum, makanlah dulu." Andung memang selalu memastikan agar cucunya sudah makan. Kalau belum, pasti Andung akan membebel, tapi dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Sudah, Andung. Isymah dah makan," sahutku sopan. Aku memang terbiasa membahasakan diri dengan nama, walaupun Andung memanggilku dengan sapaan 'Ulung' karena aku anak pertama dan sekaligus cucu pertama Andung.

"Ina? Mak tak tanya Ina dah makan?" Ucu Ina menggoda Andung. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline