Berdasarkan UU No 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) tentang batas usia minimal seseorang boleh menikah, pernikahan dini dapat diartikan pernikahan yang dilakukan sebelum calon mempelai laki-laki dan perempuan mencapai usia 19 tahun. Pernikahan usia dini dapat terjadi karena banyak faktor, salah satunya yaitu faktor yang tidak dikehendaki seperti married by accident (MBA), dalam hal ini calon mempelai terpaksa menikah karena perempuan telah hamil duluan di luar nikah. Pernikahan biasanya dipilih sebagai solusi dalam hal ini sebagai upaya menutupi aib di masyarakat. Namun, bagaimana pandangan hukum, islam, dan kesehatannya?
Pandangan hukum terkait pernikahan dini
Pada dasarnya, pernikahan dini atau pada calon mempelai di bawah 19 tahun tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Menurut pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan, apabila calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan. Selanjutnya di pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, orang tua pihak pria dan/atau wanita meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Pandangan islam terkait menikah dalam kondisi hamil
Hukum nikah dalam kondisi hamil ini terdapat perbedaan pendapat pada beberapa mazhab. Dikutip dari website NU Online, pertama, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain. Kedua, Mahzab Hanbali yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya. Ketiga, Mazhab Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu. Keempat, Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendapat, di antaranya :
Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melahirkan.
Boleh menikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibra' (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).
Berdasarkan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya dan tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Walaupun begitu, anak yang dikandungnya tetap menjadi anak hasil zina yang mana jelaskan oleh Ustaz Abdul Somad dalam salah satu kajiannya yaitu setelah lahir anak tidak boleh menggunakan bin dan binti dari bapaknya, sehingga menggunakan nasab dari ibunya; apabila anak yang dilahirkan adalah laki-laki dan memiliki adik perempuan, tidak boleh menjadi wali nikah adiknya; apabila bapaknya meninggal, anak tidak mendapat warisan karena mereka tidak memiliki hubungan nasab; dan apabila anak yang dilahirkan perempuan, bapaknya tidak bisa menjadi wali nikah.
Pandangan kesehatan terhadap pernikahan dan hamil usia dini