Buruknya eksistensi etika aktor pelayanan publik kini masih perlu diatasi. Baru-baru ini, Aparatur Sipil Negara tengah menjadi topik perbincangan hangat oleh masyarakat luas.
Berbagai berita dipenuhi dengan kasus-kasus pelanggaran kode etik oleh Aparatur Negara di Indonesia yang menyebabkan dampak-dampak lain menjadi diperhatikan.
Pelayanan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja ASN menjadi serat karena ulah oknum yang tidak mempertanggungjawabkan martabatnya sebagai seorang pengabdi negara. Selain itu, perlakuan tersebut menyebabkan menghambatnya kualitas good governance di Indonesia.
Menjadi pegawai ASN akan selalu terikat dengan kode etik karena sebagai pedoman pelaksanaan pelayanan publik yang baik. Kode etik pegawai ASN adalah pola aturan sebagai pedoman berperilaku bagi seluruh pegawai ASN untuk menjaga profesionalisme pegawai tersebut dalam memberikan jasa semaksimal mungkin kepada masyarakat dan dengan ditetapkan kode etik pegawai akan menaungi perbuatan yang tidak profesional (Kadarisman, 2017).
Selain itu, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang kode etik ASN adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan ASN di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. Publik di sini merujuk kepada pengguna dari pelayanan yang disediakan oleh pemerintah yaitu masyarakat.
Masyarakat selalu mengawasi dan menilai kinerja ASN karena dua elemen tersebut tidak bisa dilepaskan dan berhubungan satu sama lain. ASN memiliki tugas dan fungsi sebagai pelayan publik yang profesional serta tertanam nilai dan jiwa dalam melayani masyarakat karena secara teoritis makna aparat birokrasi adalah civil servant, sementara masyarakat menjadi pengguna layanan publik tersebut yang menaruh harapan penuh terhadap ASN. Sehingga jika masih banyak ASN yang beretika tidak etis, hal ini menyebabkan masyarakat membuat asumsi dan mempertanyakan kualitas penyelenggaraan Administrasi Publik (Nuraini, 2020).
Proses penyelenggaraan administrasi publik secara moral dapat perlahan mengikis kepercayaan publik, yang dapat menimbulkan merugikan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dikarenakan unsur-unsur dalam perannya tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas tugas yang diberikan.
Berbagai masalah seperti korupsi, kolusi, diskriminasi berbasis gender, penyalahgunaan kekuasaan, dll, disebabkan oleh kurangnya minat lembaga terhadap nilai-nilai etika dalam pelaksanaan tugasnya. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimulai dari perilaku aparatur dengan mengajarkan nilai-nilai etika.
Selain itu, dalam menjalankan tugas pokok sebagai pelayanan publik, kesadaran dan pemahaman aparatur tentang etika dipengaruhi oleh lingkungan juga. Pembentukan pola pikir dan perilaku yang mendasarkan pertimbangan keputusan atau tindakan berdasarkan etika bisa melalui penanaman nilai di keluarga, sekolah, komunitas, dan masyarakat (Sedarmayanti, 2012).
Pembangunan karakter di lingkungan sehari-hari sangat berpengaruh terhadap kinerja ASN nantinya karena hak tersebut menjadi landasan dasar yang diajarkan. Pengajaran mengenai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian berawal dari lingkungan ASN sendiri.
Pencegahan etika buruk pada ASN harus segera diatasi karena hal tersebut akan berdampak langsung dengan masyarakat. Pelayanan publik yang buruk membuat masyarakat menjadi tidak nyaman dan akan bertindak keras terhadap kinerja ASN. Oleh karena itu, etika pelayanan publik sangat diharapkan karena etika sekarang mulai terbatas pada tindakan aparatur pemerintah yang tidak menghormati kode etik pelayanan masyarakat.