Kemiskinan selalu menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, baik dalam level global, nasional maupun rukun tetangga. Memberantas kemiskinan sudah menjadi sebuah wacana mainstream sejak abad 20, pasca berakhirnya perang dunia dua, sebagai tujuan utama pembangunan global. Hingga sekarang, pemberantasan kemiskinan masih menjadi tujuan utama dalam UN Sustainable Development Goals yang ditargetkan tercapai di tahun 2030. Mengapa setelah berpuluh tahun pembangunan dilakukan, kemiskinan masih menjadi fenomena yang tak kunjung usai? Mengutip pernyataan dari sebuah buku, apa yang telah dicapai dimasa lalu adalah pertumbuhan ekonomi tanpa pembangunan, namun dengan meningkatnya kemiskinan. (Hettne, 1995)
Amartya Sen, seorang peraih nobel 1998, mendorong World Bank untuk melihat kemiskinan dari sudut pandang yang lebih luas. Mengapa ini menjadi hal yang penting? Sebab, menentukan definisi akan suatu hal adalah krusial dalam menetapkan tolak ukur, strategi dan hasil akhir yang ingin dituju. Jika, semua sepakat bahwa tujuan akhirnya adalah pemberantasan kemiskinan, pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan kemiskinan itu sendiri? Apa artinya menjadi miskin?
Tingkat pendapatan adalah ukuran yang paling sederhana, lumrah dan mudah untuk dijadikan acuan standar kemiskinan. Oleh karenanya, rendahnya kemampuan ekonomi menjadi definisi sederhana dari kemiskinan. Sebab, tingkat pendapatan adalah indikasi yang paling mudah dalam mengukur kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, contohnya adalah pangan. Dengan memasukan kebutuhan pangan ke dalam definisi, maka tingkat kalori yang dikonsumsi menjadi penentu standar kemiskinan. Hal ini menunjukan bahwa menentukan tolak ukur kemiskinan adalah hal yang kompleks. Karena sejatinya, kemiskinan adalah sebuah fenomena multidimensi yang tidak dapat diukur oleh satu faktor tertentu.
Secara lebih luas, kemiskinan diartikan sebagai tidak terpenuhinya hak seseorang akan suatu hal, baik secara materi seperti pendapatan dan pangan, ataupun non-materi seperti hak dan kehormatan. Sederhananya, konsep ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hal-hal dasar untuk memenuhi standar kehidupan yang layak. Dalam hal ini, uang menjadi alat yang digunakan untuk memenuhi hal-hal dasar tersebut. Sehingga, tingkat pendapatan yang berada dibawah batas yang dibutuhkan untuk memenuhi hal-hal dasar tersebut merampas hak dasar seseorang untuk memiliki kehidupan yang layak. Batas ini, yang kemudian disebut threshold, menjadi acuan penting dalam menentukan apakah seseorang dianggap miskin atau tidak. Penentuan threshold ini pun tidak lebih mudah dari menentukan definisi kemiskinan itu sendiri.
Setelah perang dunia 2, rendahnya tingkat pendapatan menjadi definisi acuan yang digunakan oleh ekonom dalam menjelaskan fenomena kemiskinan. Pendapatan memiliki nilai instrumental, yaitu sebagai alat untuk memenuhi tujuan tertentu, dalam hal ini adalah untuk mencapai hal-hal yang memungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan yang ia inginkan. Tetapi, pendapatan mengabaikan aspek-aspek penting lain dari kemiskinan. Tingkat pendapatan tertentu tidak menjamin seseorang terbebas dari masalah kesehatan ataupun diskriminasi sosial, sebagai contoh. Sedangkan, baik kesehatan maupun inklusivitas sosial adalah aspek yang penting dalam pemenuhan kehidupan yang layak.
Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, kemiskinan menjadi sebuah isu sosial yang luas. Pendapatan yang dimiliki seseorang tidak serta merta dapat dikonversi menjadi standar kehidupan yang layak. Berbagai faktor, seperti institusi sosial dan lingkungan, mempengaruhi sejauh mana pendapatan dapat melakukan fungsi instrumentalnya.
Distribusi pendapatan yang timpang, baik pada level rumah tangga maupun nasional, adalah faktor lain ketidakcukupan pendapatan sebagai tolak ukur satu-satunya dalam mengukur kemiskinan. Pertumbuhan pendapatan agregat tidak mencerminkan level pendapatan pada setiap individu. Sehingga, tingkat pendapatan yang tinggi tanpa adanya pemerataan distribusi pendapatan memberikan bias terhadap keadaan individu sesungguhnya. Dalam kondisi mayoritas kekayaan dimiliki dan dikendallikan oleh segelintir orang, kemiskinan yang terjadi bisa jadi lebih meluas dan parah dari angka yang ditunjukan. Inilah pentingnya memahami perbedaan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan yang merata. Maka, ketika kita menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai tolak ukur utama dalam pembangunan, kita cenderung menutup mata dari aspek-aspek lain yang meniadakan kesejahteraan yang merata.
Tingkat pendapatan sebagai variable kemiskinan memiliki banyak keterbatasan. Tingkat pendapatan yang rendah dapat menyebabkan kemiskinan, tetapi tidak dapat menjadi satu indicator yang cukup dalam mendefinisikan kemiskinan. Menanggulangi kemiskinan lebih dari sekedar peningkatan pendapatan, tetapi memberikan kesempatan yang setara bagi setiap individu. Dengan menggunakan sudut pandang ini, maka banyak faktor penting lainnya yang mempengaruhi. Kemiskinan adalah masalah multidimensi yang tidak dapat dijawab hanya dengan satu perspektif. Mempelajari berbagai dimensi sosial dan disiplin ilmu dalam hubungannya dengan kemiskinan menjadi penting untuk memahami fenomena ini secara lebih holistic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H