Berbicara tentang pembangunan ternyata tak bisa lepas dari bahasan mengenai gender. Sebab faktanya, perjuangan pembangunan berbasis gender sudah menjadi bagian integral dari perjalanan pembangunan global, setidaknya sejak dimulainya women’s liberation movement pada tahun 1970s. Diskursus ini terus berkembang, hingga kita sampai pada sebuah frasa ‘Gender Equality’ sebagai salah satu catchphrase di dalam agenda pembangunan di masa sekarang.
Gender Equality atau Kesetaraan gender menempati poin ke 5 dari 17 visi pembangunan global hingga tahun 2030, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs). Ada begitu banyak target dan indicator yang ditetapkan untuk mengukur keberhasilan pembangunan gender di dalam SDGs, salah satu target yang menarik perhatian saya adalah ‘Recognize and value unpaid care and domestic work’.
Menurut saya, kapitalisme berpengaruh besar dalam bagaimana kita menilai dan memandang sesuatu. Ia adalah system yang membuka gerbang pembangunan ke era modern dan menjadi sebuah system yang hingga saat ini bertahan paling lama dalam mengarahkan pembangunan global (segala gagasan tentang alternatif pembangunan selalu berpusat pada how to improve or replace capitalism, yet, yes, capitalism still exist).
Kapitalisme berawal dari sebuah system perekonomian yang kemudian menjelma sebagai struktur sosial-budaya dan politik yang mengkokohkan keberadaannya. Tanpa disadari, ia membuat kita menilai segala sesuatu dengan ukuran materi yang pada akhirnya membentuk cara pandang kita dalam menentukan sesuatu yang bernilai dan tidak bernilai. Hal-hal yang tidak menghasilkan pendapatan atau kekayaan dianggap tidak berkontribusi pada ekonomi, oleh karenanya diremehkan, bahkan dianggap sebagai ‘beban’ yang harus ditanggung.
Pekerjaan domestic sebagai contohnya. Entah kenapa pekerjaan mengurus rumah dan segala isinya, termasuk mengurus setiap manusia di dalamnya ini dipandang sebagai suatu hal yang remeh dan tidak setara nilainya dengan pekerjaan-pekerjaan di luar rumah. Mungkin karena mereka yang bekerja di luar rumah dianggap berkontribusi pada ekonomi dan menanggung ‘beban’ dari mereka yang ‘hanya’ bekerja di rumah tanpa menghasilkan pendapatan.
Pada tahun 2020, Oxfam mengeluarkan analisa jika pekerjaan domestic atau ‘unpaid work’ ini dihitung menggunakan currency unit dengan minimum wage sebagai basisnya, dalam 1 tahun pekerjaan ini menghasilkan 10,9 Triliun US Dollar secara global. Tetapi angka ini tidak masuk dalam perhitungan GDP dan diabaikan dari indicator pertumbuhan ekonomi manapun, oleh karenanya ia tetap tidak bernilai.
Cara pandang sosial yang memberikan penghargaan lebih rendah terhadap pekerjaan rumah tangga, menurut saya, telah menciptakan sebuah kesenjangan sejak dalam pikiran. Sebab bagaimanapun, hingga sekarang, urusan domestik dianggap sebagai pekerjaan berbasis gender yang secara tradisional disematkan kepada perempuan. Sikap menilai rendah pekerjaan domestik yang secara tradisional dikerjakan oleh perempuan dan menilai pekerjaan produktif (dalam hal ini diartikan sebagai pekerjaan yang menghasilkan pendapatan) lebih bergengsi, dimana utamanya dikerjakan oleh laki-laki, memberikan ketidaksetaraan dalam hubungan laki-laki dan perempuan.
Menurut saya, cara pandang kita yang meremehkan pekerjaan domestik pada akhirnya menimbulkan berbagai macam permasalahan, khususnya ketimpangan gender, karena bagaimanapun domestic work is a woman’s work, they say. Sangat umum kita menemukan pandangan yang menyatakan bahwa perempuan, yang pada akhirnya ‘hanya’ akan mengurus rumah, tak perlu bersusah payah mengejar karir atau pendidikan yang tinggi (yes, I do have a friend that once was told by a male that she shouldn’t be worry too much about her career because eventually she will end up in a kitchen!).
Dalam masyarakat yang berada dalam kemiskinan, akses akan pendidikan adalah sebuah ‘privilege’ yang diberikan kepada anak laki-laki karena ia dianggap akan menjadi pemberi nafkah dimasa depan. Sedangkan, anak perempuan membantu pekerjaan domestik dan dianggap sebagai ‘pelatihan’ untuk menjadi istri dan ibu yang ‘baik’. Disisi lain, banyak pandangan yang menyayangkan, bahkan mencibir, perempuan dengan pendidikan tinggi yang berakhir hanya sebagai ibu rumah tangga.
Menurut saya, berbagai pandangan dan fenomena sosial tersebut mendegradasi nilai dari Pendidikan dan pekerjaan domestik itu sendiri. Makna Pendidikan dipersempit menjadi sebuah alat untuk mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan kekayaan, mengabaiakan potensi yang lebih besar dari sebuah Pendidikan yaitu untuk membangun manusia, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara pikiran dan moral yang akhirnya berujung pada perubahan sosial kearah yang lebih maju.
Terdengar idealis memang, tapi penyempitan makna Pendidikan menjadi suatu hal yang pragmatis, menurut saya, berpengaruh besar dalam hasil dari Pendidikan itu sendiri. Anggapan bahwa Pendidikan dan peran dalam pekerjaan domestik adalah dua hal yang tidak sejalan memberi batasan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan, yang pada akhirnya menghalangi perempuan untuk menjadi manusia maju dan berdaya.