Aku bangun istana ku sendiri, yang cukup megah untukku, yang mungkin terlihat seperti gubug tua nan reyot untuk orang lain. Istana kedamaian hati, tanpa adanya tahta dan harta hanya segelintir doa yang senantiasa mengiringi perjalanan desahan nafas.
Berdiri tegak menatap istana kecil ku membuat aku tahu bagaimana dunia begitu indah diciptakan. Begitu banyak derita yang tak akan pernah kita bayangkan. Pengharapan belum tentu menjadi apa yang sudah kita angan2kan namun hal itu jauh lebih baik dari pada kita tidak melangkahkan kaki untuk menggapai mimpi yang telah memekakkan telinga dan serasa membuatku buta.
Aku memang berjalan sendiri dalam pekat yang tidak ada henti, dan tak satupun jendela kubiarkan terbuka agar tak ada satu orangpun yang mengintip bagaimana sebenarnya hati ku.
Aku telah memberikan nyawa kepada sang pencipta membiarkannya mempermainkan dan memainkan kehidupan yang telah tertulis di lafadz itu. Tak mudah orang bisa mengerti apa yang telah dia lakukan terhadap yang lain, bagaimana kenyataan yang harus dijalani. Tak banyak orang yang bisa menjadi orang lain yang bisa merasakan apa yang telah dia lakukan sebenarnya. Terlalu banyak keangkuhan, dan keegoisan yang seakan sudah menjadi kewajaran bagi yang menjalankannya.
Aku tak bisa menggapai bintangku yang telah aku damba.
Tapi aku ingin merajut mimpi yang jauh lebih dalam dari sebelumnya, harapan yang tak akan ku biarkan kosong. Semua akan tercipta nyata dalam diriku dalam duniaku. Meski orang lain tak memandang begitu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H