Jalan-jalan ke museum mungkin menjadi opsi terakhir yang akan diambil kebanyakan orang Indonesia. Tidak terkecuali aku. Jujur, pikiran berkunjung ke museum ada di urutan kesekian. Jarang terbersit, yang benar-benar niat, datang ke museum apabila tidak karena kepepet. Kepepet pingin jalan-jalan tapi nggak punya duit, kepepet karena bosen tiap weekend cuma ngemall terus, kepepet karena tiap liburan cuma di rumah, kepepet karena bingung dari pada nggak ngapa-ngapain, kepepet karena... karena.. *silakan isi sendiri.
Orang Indonesia konon memang tidak menggemari museum. Lha wong di kota kelahiranku, ada satu museum. Dari lahir sampai sudah hijrah, aku belum pernah datang ke museum itu. Ironis memang. Itulah mengapa seolah museum-museum di Indonesia menjadi tempat terpinggirkan. Sepi dan terkesan terbengkalai, luput dari pengelolaan yang sepantasnya. Tentu aku tidak memukul rata seluruh museum di Tanah Air seperti itu kondisinya. Banyak juga kok yang bagus dan cukup menarik.
Karena untuk sementara aku tinggal di Jakarta, aku mau cerita soal museum yang sudah aku kunjungi. Mungkin sebelumnya ada yang pingin tau alasan apa yang membuatku melangkahkan kaki ke museum. Yang pertama tahun lalu, memang karena niat. Sebagai pendatang baru di Jakarta, tentu masih senang-senangnya menjelajahi isi kota megapolitan ini. Jalan-jalan ke museum memang sudah jadi keinginan. Setelah mengunjungi Museum Fatahillah dan Museum Wayang, giliran ke Museum Nasional dan Museum Bank Indonesia (BI).
Nah baru-baru ini aku mengunjungi Museum Bahari. Kalau yang ini, karena kepepet itu tadi. Kepepet pas tanggal tua, nggak punya duit. Kalau ngemall jelas harus tahan uji. So, ke museum menjadi pilihan bijaksana :P Taukah Anda apabila Jakarta ini punya 53 museum yang tersebar di seantero Jakarta termasuk di Kepulauan Seribu *sumber dari wikipedia. Dari jumlah tersebut, berapa museum yang sudah dikunjungi? Aku baru lima. Tidak apa, toh aku masih punya niat untuk menambah jumlah kunjungan ke museum di lain waktu... Dari lima museum itu, aku justru tidak terlalu ngeh dengan Museum Fatahillah. Mungkin karena sudah menjadi salah satu ikon Jakarta dan Kota Tua pada umumnya, bangunan yang dulunya sebuah balai kota dan resmi menjadi museum pada 30 Maret 1974 itu selalu penuh pengunjung. Bagus memang, tapi, kondisi lingkungan museum jadi kotor dengan banyak sampah. Jika ingin menepi dari hiruk pikuk pengunjung lain, silakan ke Museum Wayang yang berada di sebelah Museum Fatahillah. Suasananya lebih enak. Di seputaran Kota Tua ini masih ada beberapa museum lain seperti Museum BI, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bahari. Dua museum pertama, letaknya berdekatan. Sedangkan Museum Bahari agak ke sebelah utara, sudah masuk wilayah Jakarta Utara. Tapi jika mau, bisa sewa sepeda dari Museum Fatahillah menuju ke museum-museum tadi termasuk nggenjot hingga ke Museum Bahari. Tidak terlalu jauh kok.
Ketika mengunjungi Museum BI, saat itu sedang ada sedikit renovasi. Tapi tidak sampai mengganggu pengunjung. Museum BI ini menurutku cukup bagus. Terlihat dikelola dengan serius. Di sejumlah ruangan dilengkapi dengan menggunakan sentuhan teknologi modern dan multi media. Koleksi yang jadi favorit di sini bisa jadi ruangan penyimpanan emas batangan yang bertumpuk-tumpuk itu (emas asli bukan sih?) dan ruang koleksi berbagai mata uang. Kalau aku, ditambah dengan kesempatan foto di lembaran uang Rp 10.000 yang versi Ibu Kartini warna ungu itu. Unik deh he he he. Kalau suka dengan yang berbau laut, datang saja ke Museum Bahari. Di sana kita bisa melihat rekam jejak tentang kebahariaan Nusantara. Yang menarik bukan cuma koleksinya, melainkan juga bangunannya. Dua gedung yang digunakan sebagai museum ini dulunya merupakan gudang rempah-rempah VOC dalam kompleks Westzjidsche Pakhiuzen di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa. Waktu aku ke sana, suasana cukup sepi. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Tapi yang sempat bikin senang, ada juga serombongan kecil turis bule datang dengan diantar guide. Well, paling tidak museum di Jakarta masih jadi andalan memikat turis yang ingin napak tilas... Dari Museum Bahari, kita bisa berjalan kaki ke Menara Syahbandar. Di masanya, menara ini merupakan bangunan yang paling tinggi. Area di sini memang paling cocok untuk melihat bekas-bekas Kota Batavia tempoe doeloe...
Selain Museum Fatahillah, icon museum di Jakarta bisa jadi jatuh pada Museum Nasional atau yang juga beken dengan nama Museum Gajah. Letak museum ini cukup strategis, pengelolaannya pun terkesan baik. Jumlah pengunjung pas aku datang juga lumayan banyak. Senangnya, waktu itu aku melihat beberapa keluarga, ayah-ibu-dengan putra-putri kecil, yang datang. Yah, wisata keluarga yang murah meriah serta bermanfaat pastinya... Sejauh ini tiket masuk ke museum-museum tadi paling mahal hanya Rp 5000. Ada yang gratis seperti di Museum BI. Tidak salah kalau piknik ke museum ini jadi sesuatu yang murah tapi kaya manfaat. Klise, tapi faktanya begitu. Kalau tidak datang ke Menara Syahbandar, misalnya, aku tidak akan tau apabila pada 2001 lalu setelah dilakukan pengujian struktur bangunan ternyata menara kondisinya sudah miring sekitar 2 derajat ke arah selatan. Atau, bisa melihat sendiri seperti apa menhir itu. Maklum, yang namanya menhir itu sudah muncul di buku-buku sejarah sejak SD sampai SMA. Selama itu cuma bisa melihat fotonya saja :P Kesimpulannya, mulai sekarang agendakan jalan-jalan ke museum. Kalau bisa sih sayangi dan rindukan museum. Jangan jadikan opsi yang kesekian :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H