Lihat ke Halaman Asli

Tak Ada Foto Presiden di Gedung DPR RI

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Stalking laman PROKONTRA di Kompasiana tentang TAK ADA FOTO PRESIDEN DI GEDUNG DPR RI isi komennya lucu-lucu tur wagu. Sampai menit saya posting tulisan ini ada 4 PRO, 42 KONTRA. Berikut 4 komentar PRO dari kompasianers :

"Jika Foto Presiden dan Wakilnya dipasang di Gedung DPR, seolah-olah DPR berada di bawah Presiden."
"Indonesia butuh presiden yg BUKAN selebritis yg sukanya cuma cari sensasi."
"Gak cocok jadi presiden!"

"Penghematan bos... Kalau setiap ruangan di DPR ada fotonya plus pigura seharga 25rb (di Jogja) X 100 ruang, hemat... itu!!! Bener pak setuju penghematan APBN."

Itulah hebatnya media Indonesia, kita dapat begitu mudah mengakses segala informasi yang ada di negeri ini, tak terkecuali masalah tidak adanya foto presiden dan wakil presiden terpilih di DPR.

Bukankah presiden dan wapres itu merupakan kepala negara yang wajib dihormati?
Bukankah kita menganut sistem pemerintahan presidensial?

Memang tidak ada satu aturan baku dalam undang-undang untuk memasang foto presiden dan wapres dalam sebuah lembaga, tapi apakah wajar bila lembaga pemerintahan tidak mau memasang foto presiden dan wakil presidennya sendiri? Seolah-olah tidak adanya pengakuan dari lembaga pemerintahan tersebut jika mereka memiliki pemimpin negara.

Rasa hormat tidak harus mengelu-elukan setiap waktu, menyanjung bagai tak ada noda, tapi cukup memberi pengakuan, memberi kepercayaan bahwa dia akan bisa merubah keadaan.
Saya takut, jika KITA HANYA BISA BERKOMENTAR TANPA MEMBERI SOLUSI.

Pertanyaannya apakah sebelumya di DPR juga tidak memasang foto presiden dan wapres periode sebelumnya? Atau siapakah yang cocok jadi presiden? Apa kriterianya? Sampai-sampai kita men-judge pemimpin terpilih kita seperti ini.

Berikan sedikit ruang gerak, biarkan mereka (red: presiden dan wapres) bekerja. Jika ada kebiasaan yang berbeda dengan pemimpin terdahulu, anggap saja itu cara beliau "menari" dalam pekerjaannya, jangan dinilai dari sudut pandang negatif bahwa beliau sedang melakukan sensasi.
Tidak akan ada habisnya masalah kita jika terus menilai segala hal dari sudut pandang negatif, apalagi jika hanya "berkicau" tanpa solusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline