Lihat ke Halaman Asli

Anindya Hana Nararya

Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Airlangga

Mendobrak Dominasi Paham Patriarki dengan Dominasi Peran Perempuan dalam Struktur Sosial di Suku Tuareg, Afrika Utara

Diperbarui: 6 Juli 2022   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan pandangan feminisme dalam dinamika dunia internasional seakan semakin digaungkan, hal ini terlihat dari banyaknya fenomena-fenomena dalam cakupan feminisme seperti kesetaraan hak dan kewajiban terhadap gender yang ada. Kajian mengenai feminisme sebenarnya erat kaitannya dengan diskursus Ilmu Hubungan Internasional dimana mereka telah berkembang sejak tahun 1980-an dimana fokus diskursusnya itu untuk memunculkan variabel gender dalam studinya (Weber, 2005). Pengamat dan para feminis menganggap bahwasannya perkenalan mengenai analisis gender akan membawa dampak diferensiasi dari sistem sosial terhadap dinamika kehidupan perempuan dan laki-laki (Dunne et al., 2013). Jika dilihat dari kajian dasarnya, feminisme tentunya memiliki beberapa asumsi dasar sebagai latar belakang perkembangannya. Asumsi dasar yang pertama adalah tentang feminisme yang mempercayai keberadaan human nature sebagai suatu konstruksi alami dalam dinamika lingkungan sosial. Asumsi kedua adalah tentang feminisme yang memfokuskan pada ketidakjelasan yang pasti antara fakta dan nilai. Asumsi ketiga adalah feminisme percaya adanya keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan. Asumsi terakhir adalah mereka yang menekankan tentang keberadaan emansipasi wanita sebagai main agenda dan tujuan utama dari kaum-kaum feminis (Steans et al., 2005). Perkembangan feminisme sering kali juga mendapatkan kritik karena mereka terlalu dianggap cenderung berfokus pada perempuan saja meskipun premis utama mereka menekankan pada poin kesetaraan. Tetapi, seiring berjalannya waktu pun kini kajian mengenai feminisme sudah meluas karena asumsi dasarnya yang sedikit seksis jika dihadapkan dengan kondisi dunia yang sekarang. Poin utama feminisme sekarang adalah bagaimana cara untuk mencapai gender equality untuk perempuan dan laki-laki pada berbagai aspek yang ada. 

Kehadiran perkembangan studi feminisme erat kaitannya dengan dominasi paham patriarki yang sudah lama berakar dan kemudian berkembang di struktur sosial masyarakat di dunia. Membicarakan mengenai paham patriarki sebagai sistem sosial yang diadopsi oleh mayoritas kelompok sosial di dunia ini menarik, karena pasti akan menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Pihak yang menyuarakan pro dianggap sudah terlalu terkontaminasi dengan anggapan sudah harusnya sistem ini yang diaplikasikan pada struktur sosial. Sedangkan, pihak yang menyuarakan kontra biasanya lebih memfokuskan pada hak-hak dan kesetaraan yang sudah seharusnya diaplikasikan karena pada dasarnya makhluk sosial itu setara dan mempunyai porsi yang sama untuk berkontribusi dalam suatu kegiatan pada sistem sosialnya. Definisi dasar mengenai patriarki dapat dipahami sebagai sistem sosial yang menempatkan kaum laki-laki sebagai aktor prominen yang sentral dalam sebuah organisasi sosial. Patriarki menempatkan laki-laki satu posisi lebih tinggi daripada perempuan pada segala aspek kehidupan sosial yang mana menjurus pada ketidaksetaraan gender (Sastryani, 2007). Konsep mengenai patriarki kerap kali dianggap sebagai kontroversi karena hadirnya beberapa kesalahpahaman. Salah satu kesalahpahaman yang ada adalah dengan adanya keterkaitan antara konsep kebebasan dalam paham patriarki yang diidentikkan dengan aktivitas eksploitasi tubuh lawan jenis untuk kepentingan seksual. Paham patriarki sudah dianggap sebagai budaya yang berkembang di masyarakat. Budaya patriarki yang terjadi di berbagai sistem sosial kehidupan bermasyarakat biasanya menekankan pada porsi perbedaan pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki yang juga kemudian menghasilkan suatu hierarki gender karena laki-laki pada akhirnya mempunyai otoritas untuk mengontrol segala aspek yang terjadi dalam struktur sosial yang dinaunginya (Mulia, 2014). Salah satu jejak perkembangan feminisme dan dobrakan patriarki dengan mengadopsi paham matriarki sebagai nilai dasar sistem sosialnya adalah fenomena dominasi peranan perempuan atas laki-laki yang terjadi di Suku Tuareg, Afrika Utara. Suku Tuareg dinilai menerapkan sistem dan paham matriarki daripada patriarki yang selama ini dianut oleh mayoritas suku dan etnis yang tersebar di belahan dunia. 

Keberadaan Suku Tuareg di Afrika Utara merupakan suku yang didominasi oleh orang Berber yang beragama Islam dan tinggal di daerah Gurun Sahar. Suku Tuareg yang nomaden ini kemudian menyebar di berbagai kawasan seperti Niger, Mali, Aljazair, Burkina Faso, dan Libya. Meskipun tersebar di berbagai tempat berbeda, mereka disatukan dengan bahasa yang sama, yaitu bahasa Tamasheq. Suku Tuareg mengimplementasikan sistem matriarki dimana mereka menempatkan posisi wanita sebagai posisi dominan yang mengatur sistematika dan dinamika di dalamnya. Para wanita asli Suku Tuareg dituntut untuk bisa berpendidikan dengan lancar membaca, menulis, dan kemudian memiliki ternak sendiri yang nantinya akan diurus oleh pihak laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat Tuareg mengadopsi sistem kebebasan dan tidak menyukai adanya sistem otonomi yang terlalu digaungkan oleh mayoritas masyarakat yang ada di dunia. Contoh sistem matrilinealnya adalah ketika para wanita yang akan mengambil alih dominasi dengan mempunyai kekayaan seperti hewan ternak dan lahan pertanian lalu para laki-laki yang akan disuruh untuk merawat hewan ternak dan urusan panen hasil taninya (Keita, 1998). Fenomena sosial yang terjadi di Suku Tuareg ini pun kemudian menjadi contoh nyata bahwasannya sistem matriarki atau paham matrilineal dapat juga diadopsi dan berjalan dengan baik-baik saja. Peristiwa dominasi peranan perempuan dalam struktur sosial masyarakat Suku Tuareg ini pun membuktikan bahwasannya terdapat linimasa perkembangan awal bagaimana perempuan juga dapat memainkan peranannya sama baiknya dengan laki-laki, hal ini pun kemudian menjurus pada hadirnya istilah kesetaraan gender dimana baik perempuan atau laki-laki sudah seharusnya mendapatkan hak yang sama, setara, tidak kurang, dan tidak lebih. Perempuan yang selalu dianggap tidak bisa berkontribusi lebih daripada laki-laki pun sekarang sudah mulai tergeser dengan masifnya perkembangan paham feminisme untuk menghilangkan dominasi patriarki yang telah lama berakar di masyarakat. Menurut penulis, sudah seharusnya perempuan dan laki-laki mempunyai porsi yang sama ketika dihadapkan dengan bagaimana mereka menunjukkan kontribusinya dalam dinamika sosial masyarakat.  

Referensi

Dunne, Tim et al., 2013. "Feminism", dalam International Relations Theories. Oxford: Oxford University Press.

Keita, Kalifa., 1998. "Conflict and Conflict Resolution in The Sahel : The Tuareg Insurgency in Mali'', dalam Strategic Studies Institute., pp. 1-48 http://www.strategicstudiesinstitute.army.m il/pdffiles/pub200.pdf (Diakses pada 3 Juli 2022). 

Mulia, Musda., 2014. Indahnya Islam: Menyuarakan Kesetaraan & Keadilan Gender. Yogyakarta: Nauvan Pustaka.

Sastryani, 2007., Glosarium, Seks, dan Gender. Yogyakarta: Carasuati Books.

Steans, Jill et al., 2005. "Feminism", dalam Introduction to International Relations, Perspectives & Themes 2nd Edition. London: Pearson & Longman. 

Weber, Cynthia., 2005. International Relations Theory: A Critical Introduction. London: Routledge. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline