Setiap tanggal 29 Juni diperingati sebagai hari keluarga nasional di Indonesia dan tidak banyak yang mengetahui apa dan bagaimana sejarah hari keluarga tersebut.
Pada tahun 2020 ini, peringatan Hari Keluarga Nasional atau biasa disingkat Harganas tersebut dilaksanakan dengan lebih sederhana dan mengusung tema" BKKBN hadir dengan cara baru, semangat baru dan kebiasaan baru di keluargamu" ini menunjukkan bahwa dinamisnya peran BKKBN dalam peningkatan kualitas keluarga di Indonesia melalui pengendalian jumlah penduduk pada awal masa berdiri dan sekarang perubahan paradigma menjadi perencanaan keluarga yang lebih baik akan membawa anak serta keturunan yang lebih sehat.
Adanya pasang surut dalam kebijakan pemerintah di dalam pembangunan kependudukan di Indonesia dan sejak era Presiden Soekarno yang terkenal dengan pro natalitas karena adanya "misi" untuk dapat mengembalikan kekuatan tenaga muda Indonesia yang pada saat pra kemerdekaan RI mengalami defisit karena banyaknya yang meninggal di medan perang sampai dengan akhirnya seperti tersentak kala tercapai angka 130 juta jiwa di awal program KB tahun 1970 hingga membengkak 250 juta jiwa di 2014.
Proyeksi BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah sampai dengan 300 juta jiwa pada 2030 jika pengelolaan kependudukan di Indonesia tidak dimanajemen dengan baik, apalagi jika dihadapkan dengan isu Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengharapkan adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembangunan baik di bidang kesehatan, pendidikan serta ekonomi yang merata untuk semua tanpa terkecuali.
Adanya generasi "baby boom" yaitu generasi yang lahir sebelum tahun 1960 yang mempunyai pandangan "banyak anak banyak rezeki" dan terjadilah lonjakan perkawinan serta jumlah kelahiran di Indonesia di era tahun 1950 dan 1960. Kala itu "Total Fertility Rate" (TFR) berada di posisi 5,61. Artinya, setiap perempuan usia produktif di Indonesia rata-rata melahirkan lima sampai enam anak. Sayangnya banyak di antara mereka tidak memiliki taraf kesejahteraan yang memadai.
Akses ke sarana kesehatan pun karenanya minim. Akibatnya, angka kematian ibu dan bayi begitu tinggi. Banyak anak telah mendera keluarga untuk hidup miskin lebih dalam.
Jika hal ini terus terjadi, maka akan terjadi kemunduran kualitas penduduk Indonesia karena beratnya beban pemerintah untuk dapat melaksanakan pembangunan secara menyeluruh diakibatkan kuantitas besar tidak diikuti dengan peningkatan kualitas.
Kondisi tersebut, menarik perhatian dan sekaligus keprihatinan para pakar di bidang kesehatan salah satunya yang berjuang dengan gigih yaitu ibu dr. Julie Sulianti Saroso yang mencoba menggawangi program pengendalian kelahiran di era 1950-1960-an.
Dokter Sulianti berkiprah di Jogyakarta di tengah suasana politik nasional yang tidak begitu mendukung ketika itu. Di Jakarta beberapa tokoh sepemahaman dengan dr. Sulianti -- bahwa pengendalian kelahiran itu penting -- juga ikut bergerak.
Mereka tergabung dalam International Planned Parenthood Federation -- IPPF. Federasi ini selanjutnya bernama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia atau dikenal dengan nama PKBI. Para tokoh lainnya yaitu Prof. Sarwono Prawiroharjo, dr. M. Judono, dr Hanifah Wignyosastro, dr. Koen S. Martiono, dr. R. SDoeharto dan dr. Harustiati Subandri.