Lihat ke Halaman Asli

Pemanfaatan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin bagi TS yang belum pernah (moga-moga tidak akan pernah…) tersandung sengketa medik dengan pasien dan keluarganya masih asing dengan topic ini. Maka disini saya akan sharing sedikit ilmu saya yang didapat dari acara sosialisasi peraturan tenaga kesehatan kota Depok.

Sengketa medik timbul akibat pihak pasien/keluarga merasa tidak puas dengan pelayanan yang diberikan, baik itu oleh dokter maupun tenaga kesehatan lainnya. Dan ujung-ujungnya minta tuntutan.

Masalah makin berkembang setelah keluarga/pasien mewakilkan kepada pihak ketiga, umumnya pengacara, untuk bertemu dengan kita, atau pihak rumah sakit. Dokter saat ini harus lebih hati-hati karena pengacara sudah buka praktek di rumah sakit-rumah sakit.

Apa sih yang harus kita lakukan untuk menghindari masalah tersebut?

1)Pangkal dari semua permasalahan adalah komunikasi. Dokter seharusnya memberikan ekstra waktu yang cukup untuk komunikasi dengan pasien. Apalagi pasien-pasien bedah. Oleh karena masyarakat kita masih seram kalau mendengar kata operasi, dan tentu saja operasi memakan biaya yang tidak sedikit.

2)Hanya masalahnya, terkadang ada juga pasien/keluarga yang sudah kita jelaskan gak ngerti-ngerti juga. Kita tidak tau kalau sebenarnya mereka sedikit kurang paham, karena mereka umumnya menjawab sudah paham kalau kita tanya. Untuk itulah perlunya informed consent. Supaya ada bukti persetujuan tertulis bila kita akan melakukan tindakan.

3)Semuanya berawal dari niat baik. Niat baik dokter untuk menolong pasien. Niat baik dokter untuk member nafkah bagi keluarganya tanpa bermaksud berlebih-lebihan.

4)Last but not least, BERDOA.

Kemudian bila sengketa medik itu tetap terjadi juga, langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan?

Sebaiknya dokter berkomunikasi dengan IDI. Jangan langsung bernegosiasi sendiri. Karena salah satu misi yang diemban IDI (AD/ART) adalah meningkatkan kesadaran hukum dan melaksanaan pembinaan serta pembelaan anggota. Jangan langsung percaya kepada satu pengacara, sebaiknya mencari wawasan dahulu. Umumnya bila suatu perkara telah didaftarkan di pengadilan perdata, maka majelis akan menentukan hari sidang. Nah, pada hari pertama sidang hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

IDI Jabar dalam hal mediasi telah memiliki mediator non hakimyang tergabung dalam Bandung Mediation Center. Dokter (tergugat) dan pasien (penggugat) berhak menunjuk masing-masing mediator, atau dengan kesepakatan bersama mau diselesaikan oleh mediator yang sama.

Para pihak berhak memilih mediator antara lain: (1) Hakim pemeriksa (2) Hakim bukan pemeriksa (3) Advokat/Akademisi hukum, profesi bukan hukum yang memiliki sertifikat mediator.Ini saya tekankan karena kenyataan di lapangan, yang sering menjadi mediator adalah hakim pemeriksa. Dan dia tidak memediasi dengan baik. Sebenarnya adalah hak yang bersengketa untuk memilih mediator.

Proses mediasi tidak harus menunggu pengadilan. Nanti ketika mencapai kesepakatan, hasil mediasi dapat dikuatkan dengan AKTA PERDAMAIAN.

Sebenarnya yang bias menjadi mediator adalah siapa saja. Namun, keuntungan dengan menggunakan mediator bersertifikat adalah hasil kesepakatan bias dituangkan dalam Akta Perdamaian dan mengandung kepastian hukum.

Salah satu kelebihan mediasi adalah hal-hal yang dibicarakan dalam mediasi tidak boleh dibuka di pengadilan. Jadi isi pembicaraan bersifat rahasia. Pembicaraan tidak bias untuk menuntut seseorang di pengadilan.

Pada akhirnya saya berharap TS semua terbebas dari sengketa medik. Amin ya robbal ‘alamin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline