Kutulis ini sebagai penghargaan kepada saudariku, seorang wanita, istri, ibu 1 putri.
Di mataku engkau seorang yang tomboy, sedikit malas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, kadang malas membantu ibumu. Ibu menyiapkan masakan dan menjaga anakmu, sementara kau tidur siang. Seingatku satu atau dua asisten rumah tangga ibu keluar berkat dirimu. Aku sering tidak memahami jalan berpikirmu…kenapa sering sedikit cekcok dengan ibu atau bapak. Anggapan sebagian orang, bahwa anak perempuan biasanya lebih sayang dan perhatian kepada orang tuanya sepertinya tidak berlaku untukmu.
Suatu hari kamu menceritakan kondisi kesehatan suamimu kepadaku. Kau percayakan hal itu kepadaku karena aku seorang dokter. Jadi, dirimu berharap aku lebih mengerti. Kondisi yang tidak kamu bagikan dengan orang tua ataupun saudara-saudaramu.
Oooo….. begitu ya? Aku mulai memperhatikan…..
Memang suamimu agak aneh bagiku. Bila pulang, langsung masuk kamar. Jarang mengobrol dengan saudara-saudara. Keluar kamar hanya saat ke kamar mandi dan makan. Beberapa kali melakukan wawancara kerja, tapi belum ada yang diterima. Kau beralasan kantor-kantor itu hanya ingin menggali ide-ide segar orang lain untuk diterapkan di perusahaan mereka. Beberapa kali juga keluar dari kerja karena berseberangan dengan manajemen.
Kau merintis usaha. Satu usaha bertahan meski kecil-kecilan. Selain itu kau giat kesana-kemari mencari peluang usaha. Berjualan kerudung, baju, keripik, kue. Semua kau lakukan dengan semangat. Kemudian kau melanjutkan sekolah lagi. Berharap ekonomi keluargamu akan makin membaik.
Ada satu yang membuatku tersentuh, adikku…. Yakni ketika suamimu pulang, kau tetap mencium mesra tangannya. Saat suamimu mau makan, kau setia menemaninya. Kadang ketika suamimu berseberangan dengan keluarga dan orang tuamu, kau tetap mengikuti perintah suamimu. Aku tahu betapa menyakitkan untukmu harus berseberangan dengan orang tuamu. Tapi, aku mengerti…. Kondisi kesehatan suamimu memang tidak bisa disalahkan. Terlebih, memang begitulan ajaran agama kita. Suami adalah pemimpin wanita setelah berumah tangga.
Aku kini mengerti kenapa kau tampak acuh dan terkesan malas di rumah. Kau pasti lelah ya, Dik… Kau harus berjuang sendiri, memutar otak untuk menghidupi suami dan anakmu. Bahkan kau harus tetap menjaga perasaan suamimu. Menjaga suamimu agar tidak terlalu lelah atau tersinggung. Kau tetap menghormati suamimu dengan segala kekurangannya.
Bila dibandingkan dengan diriku yang masih banyak tuntutan kepada suami, aku terkesan dan bangga kepada dirimu, adikku. Dan aku yakin, dan aku berdoa… Salah satu pintu jannah yang terbuka untuk wanita-wanita sholihah akan memanggil namamu. Dan aku tulus berdoa, semoga kehidupanmu akan membaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H