Lihat ke Halaman Asli

Cerita di Balik Sarung

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_102" align="aligncenter" width="300" caption="Foto"][/caption]

Hari Jumat lalu, 25 Desember 2009, aku kebagian jaga pagi di UGD. Pasien hari itu datang satu per satu, nggak sekaligus brek banyak, akibatnya ga bisa istirahat. Hehehe…. Sekitar jam 1-an, seorang laki-laki, masih memakai baju koko dan sarung masuk ke UGD. “Dok, nanti ada pasien pingsan di mesjid”, begitu informasi yang ditujukannya padaku.

Tak lama kemudian, datanglah sekitar 8 laki-laki yang menggotong seseorang. Laki-laki yang digotong itu tidak terlihat lemas, namun justru berontak-berontak. Tangannya menggapai-gapai, kakinya menendang-nendang ke atas, sembari berteriak-teriak minta dilepaskan pegangannya. Brankar tempat tidur pasien sampai ambruk ke satu sisi saat pasien berusaha turun. Badannya tinggi dan cukup besar. Tak heran tenaganya kuat.

Saat itu yang bertugas di UGD cuma 2 orang: aku dan 1 perawat perempuan. “Wah mba. Keder juga niy…”, kataku pada perawat. Aku mengulurkan 1 ampul obat penenang untuk disuntikkan ke lelaki itu. “Saya ga berani, dok”. Blaik…. Ternyata, untungnya daku, di barisan lelaki yang memegang pasien, tampaklah seorang perawat RS kami. “Om, minta tolong suntikin ya. Di paha aja”. Begitu disuntikkan, jangan dikira pasien langsung tenang. Kami harus menunggu sekitar 15 menit, baru tampak efek obat yang bekerja. Pasien menjadi lebih tenang, bahkan sadar. Kemudian dia duduk di lantai, tidur=tiduran sebentar, sebelum akhirnya berhasil dibujuk kerabatnya untuk tidur di bed periksa.

Dari cerita istri, pasien tidak sedang ada masalah. Bahkan sedang cuti tahunan. Menurut orang-orang yang melihatnya di masjid, saat yang lain sholat, si pasien ini tidak sholat. (Berarti yang lihat, sholatnya ga kusyuk dong. HEhehe…..). Setelah itu dia seperti kejang-kejang, baru deh mengamuk. Ada juga yang bilang, si pasien sempat bicara pake bahasa Bali. Intinya, menurut orang-orang, dia kesurupan.

Setelah beristirahat dan diobservasi 30 menitan, keluarga minta pulang saja. Alhamdulillah, dalam hatiku. Soalnya kalau ada apa-apa serem. Mana kami yang piket cewe semua. Tak lupa, saya menyarankan istrinya untuk membawa pasien konsultasi ke psikiatri. Tak sengaja saat pasien menendangkan kakinya ke atas, saya melihat pasien tidak memakai celana dalam. Ntahlah, apakah itu tindakan yang disengaja atau tidak. Namun, saya curiga jangan-jangan pasien sebenarnya sudah menunjukkan gejala gangguan jiwa, namun belum disadari oleh keluarga.

Bapak-bapak, Salahkah saya menganggap aneh lelaki yang tidak ber-CD di balik sarungnya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline