Berkaca dari kasus Prita, menurut saya sebagai pengamat jarak jauh, yang terjadi dengan Prita sebenarnya akibat jeleknya komunikasi dokter dan pasien. Tidak ada indikasi sengaja minta pasien dirawat karena kondisi Prita saat itu sepertinya memang udah ga kuat, lemes dan butuh dirawat. Mengenai kesalahan laboratorium, setidaknya dokter sudah memberitahu ada kesalahan hasil lab terdahulu.
Apakah nilai trombosit menjadi satu-satunya tolok ukur seseorang mesti rawat inap apa tidak? Ya, nggaklah....Pasien demam berdarah hari ke-5, trombosit biasanya rendah sekali, namun keluhan pasien terutama akibat demam sudah ga ada.
Terus, apa hubungannya dengan judul di atas? Saya berimajinasi mungkin dokternya bak aristokrat. Bahasa yang dipakai ga nyambung sama pasiennya. Bilang penyakit akibat virus udara kok pada pasien terpelajar? Ya mereka ga puas. Udah gitu, ga punya waktu lebih untuk menjelaskan, mungkin akibat kesibukannya. Terus dokter ga senyum-senyum dan menyapa pasien,"Met pagi Bu prita. Gimana kondisinya hari ini?". Ditambah sering lupa menjelaskan macam-macam obat yang diresepkan beserta fungsinya. Dalam benaknya pasien harus nurut. Begitu pasien balik lagi dan belum sembuh, dokternya bilang, "Kenapa obat saya ga ditebus?"
Profesi dokter dan pendidikan kedokteran sedikitnya memberi sumbangan terbentuknya karakter demikian. Profesi ini jelas perannya terhadap nyawa seseorang bak dewa. Dan saat perkuliahan, senior sangat menetukan nasib yuniornya. Seniorlah yang memberikan kesempatan yunior untuk belajar melakukan tindakan dibawah pengawasannya, seniorlah yang menerangkan cara-cara pemeriksaan fisik dan kelainan fisik yang semuanya harus pengalaman di lapangan. Bukan hanya textbook.
Akibatnya, tidak jarang senior menindas yuniornya. Yang sering adalah minta traktir ini-itu. Lainnya, yunior sering jadi pembantu umum. Buang kencing pasien, belikan makanan, ngetikin laporan, nguras kamar mandi, nyemir sepatu, (alias jadi keset). Belum lagi jas putih para guru besar yang boleh menjuntai hingga lutut mencerminkan kasta dalam kedokteran (biasanya dokter-dokter muda lebih suka jas putih pendek karena adem, namun di kelas tertentu ada dosen yang maunya siswanya pakai jas dokter lengan panjang.Kalau guru besar, lengannya panjang, panjang jas juga sampai lutut).
Lain lagi dengan cerita pasien. Pasien ini seringnya maunya cepat sembuh. Bablas lorone (hilang penyakitnya). Jadi, sedikit-sedikit lapor ke suster. Sus, kok pusingnya ga hilang-hilang?. Kok sakit perutnya masih juga?. ....Gimana mau hilang kalau penyebabnya belum hilang?
Ada juga yang mencecar dokternya dengan diagnosis penyakitnya. Baru selesai dokter periksa-periksa, diakhiri dengan menepel stetoskop, pasien langsung nanya. "Jadi, saya sakit apa,dok" "Bukan DB ya,dok?. Jadi apa?" "Kalau keluhannya panas dan pusing, kemungkinan diagnosisnya macam-macam bu. Dari flu, radang tenggorokan (penyakit-penyakit dokter umum), sampai ke gangguan imun, seperti Lupus (penyakit spesialistik). Masih perlu pemeriksaan lebih lanjut, bu."
Belum lagi cerita tentang perawat. Dokter hanya melihat sesekali, sedangkan perawat yang menemani pasien sepanjang shift-nya. Sayang, mereka juga sering oon dan lupa. Akibatnya instruksi dokter tidak dapat dijalankan dengan sempurna. Terkadang jumlah perawat tidak mencukupi untuk melayani pasien dengan jumlah sekian, dengan tingkat pengawasan yang beragam. Perawat menjadi sangat sibuk dan kurang perhatian. Akibatnya keluhan pasien kurang diperhatikan. Dalam hal ini, manajemen RS-lah yang bertanggung jawab.
Tulisan ini saya tampilkan di blog saya
Note : Dialog-dialog di atas hanya imajinasi, bukan kondisi sebenarnya antara Prita Mulayasari dengan dr. H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H