Lihat ke Halaman Asli

Senyum Semanis Jajanan SD

Diperbarui: 26 Februari 2021   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis dengan rambut sebahu itu mengerjapkan matanya berkali kali, tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Tak mungkin, ia bilang kepadaku akan pergi jauh. Coklat panasnya sudah mulai dingin, namun ia tak peduli; hatinya panas sekarang. Pandangannya tak lepas dari sosok yang sampai saat ini masih memenuhi relung hatinya.

Kata-kata itu terdengar lagi, semua kejadian muncul di kepalanya bak sedang menertawakannya yang tak kunjung juga bisa beralih dari masa lalu, sialan. Bagaimana awal mereka bertemu, bagaimana senyumnya terbit dari wajah manis itu, sampai bagaimana cara ia menatap. Ia masih ingat semua, bahkan sampai hal terkecil, seperti harum parfumnya, sepatu kesukaannya, kebiasaannya sehari-hari sampai hobinya beberapa bulan kebelakang.

Anggaplah ia gila, musyrik ( karena lebih percaya lelaki itu) atau bahkan apapun itu. Saat itu sangat indah, siapapun akan setuju dengan ucapannya jika melihat langsung. Seorang wanita yang selalu memakai tas ransel kecil menghabiskan waktunya dengan pria yang memiliki mata teduh. Sumpah demi jingganya matahari sore, aku seperti tenggelam dalam matanya.

Lalu senyumnya, kelewat indah sampai ku pikir pelangi akan cemburu melihatnya. Sialnya ia jarang tersenyum, OH! Aku beberapa kali berhasil menerbitkan sabit itu dari wajahnya. Aduhai, bahkan jajanan permen di depan SD-pun akan minder melihatnya. Katanya ia tak suka tersenyum, tak cocok dengan wajahnya, lagi pula wajah dinginnya tak pantas jika disandingkan dengan senyuman manis itu. Aku mengangguk setuju saja saat ia bilang begitu, padahal hatiku mengutuknya habis habisan, bagaimana bisa ia membenci senyum itu? Jika aku jadi dirinya akan kusuguhkan seluruh dunia senyum itu tiap harinya.

Langkahnya yang panjang panjang itu takkan menyulitkanku, toh tinggiku tak jauh darinya walau usia kami tertaut 3 tahun. Dia juga pernah bilang kepadaku kalau ia malu jika tak memakai topi, katanya rambutnya kelewat halus jadi jika tidak pakai penutup kepala ia akan terlihat seperti profesor rambut tipis yang rambutnya belah tengah, aku tertawa saja mendengarnya; pura pura setuju karena menurutku apapun yang ia pakai takkan mengubah cara pandangku kepadanya ya kecuali jika tiba tiba dia memakai koteka sih.

Brak! "eh, Nara ya? apakabar?"

Aku tersadar dari lamunan dan segera di hadapkan dengan kenyataan bahwa yang ada di depan ku adalah...

"Halo Ra?" ujarnya sambil memperhatikanku,

"eh iya, kak Raka ya?" ucapku hati hati.

"Eh iya bener ternyata Nara, hai apakabar Ra?"

"Kabarku baik kok, kakak sendiri gimana?" belum selesai aku bertanya lelaki yang dipanggil Raka ini membelakangiku, seperti memanggil seseorang,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline