Istilah "pan-Arabisme" berasal dari frasa al qawmiya al'arabiya (nasionalisme Arab), al wataniya al'arabiya (patriotisme Arab), al wihda al'arabiya (persatuan Arab), al ittihad al'Arab i (kesatuan Arab) dan al'uruba (Arabisme atau ke-Arab-an) digunakan secara bergantian baik dalam litelatur maupun perdebatan politik untuk menyampaikan gagasan tersebut.
Pan-Arabisme merupakan gerakan politik pada tahun 1960-an yang berdasarkan pada kesatuan politik, budaya dan sosio-ekonomi negara-negara Arab yang muncul setelah dekolonisasi. Pan-Arabisme diciptakan oleh kaum elit untuk mengamankan kendali politik atas sistem negara yang baru lahir, seperti Irak, Suriah, Mesir dan Aljazair.
Para elit politik menggunakan kesamaan budaya (terutama linguistik) untuk mengekspresikan seruan kesatuan politik untuk melawan kolonialisme. Dengan meningkatnya semangat gerakan antikolonial, juga munculnya dorongan emansipasi, modernisasi dan otonomi mendorong gerakan pan-Arabisme dengan kuat. Pada dasarnya, Pan-Arabisme ini merupakan bentuk ekspresi sekuler dan sosialis, membuat Pan-Arabisme ini menjadi gerakan yang kuat dengan daya tarik besar di sebagian besar dunia Arab.
Kesamaan budaya yang sangat nyata di seluruh dunia Arab dan sejarah panjang kerajaan Arab yang tersebar di Timur dan Barat memberikan landasan untuk merumuskan sebuah proyek yang dimaksudkan untuk mengusir penjajah kaum Arab dan membangun negara modern baru sambil menhubungkan masyarakat Arab. Setelah dekolonisasi tercapai, harapan masyarakat beralih dari menjadi sebuah bangsa menjadi menuai hasil dari emansipasi tersebut.
Sederhanya, Pan-Arabisme disebut sebagai paham atau gerakan penyatuan bangsabangsa dan negara dunia Arab --mulai dari Samudera Atlantik sampai ke Laut Arab-- yang sekuler untuk menyatukan negara-negara Arab sebagai bentuk dari perlawanan terhadap musuh. Pan-Arabisme ini berkaitan erat dengan budaya nasionalisme bangsa Arab dan merupakan satu kesatuan dalam sebuah bangsa.
Berdasarkan ideologi nasionalisme tersebut, Pan-Arabisme memiliki kepentingan untuk melakukan perlawan terhadap musuh bangsa Arab, yaitu Israel. Pan-Arabisme memiliki kepentingan untuk mengalahkn Israel untuk membela Palestina.
Setelah Israel masuk ke kawasan Timur Tengah dan mendominasi wilayah di Palestina, United Arab Republic ini pun lahir untuk menekan kekuatan Israel. Namun upaya gerakan pan-Arabisme yang dipimpin oleh Nasser untuk meluaskan pandangan pan-Arab berakhir setelah kekalahan dalam perang 6 hari Arab-Israel pada Juni 1967. Yang mana sejarahnya, pada 5 Juni 1967, Israel melawan Mesir dan melumpuhkan angkatan udara Yordania, Suriah dan Irak. Namun berakhir dengan kemenangan besar oleh Israel.
Kekalahan Arab menghancurkan nilai pan-Arabisme Nasser dan membuat Palestina harus berjuang sendiri untuk mendirikan sebuah negara. Sementara itu, pemukiman Yahudi telah menjamur di Tepi Barat, sementara warga Palestina di sana terus hidup di bawah kekuasaan militer Israel. Kemenangan besar Israel dalam perang tahun 1967 menyebabkan negara-negara Arab yang kalah harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan pernah bisa membebaskan seluruh Palestina.
Pan-Arabisme disalahkan oleh banyak pihak setelah kekalahan Arab pada 1967 dan penaklukan Israel atas kota suci Yerusalem dan menghasilkan krisis identitas dalam kawasan Timur Tengah.
Sehingga gerakan ini membawa kepada jalur kegagalan. Terbukti dengan adanya kendala internal dalam berkomitmen terhadap identitas pan-Arabisme itu sendiri. Seperti, Anwar Sadat, Presiden Mesir, yang mendatangani Perjanjian David Camp dengan Israel setelah kalah dalam perang. Sehingga Mesir dianggap telah menusuk aliansi United Arab Republic oleh negara Arab lainnya, yang pada akhirnya berujung dengan ketidakstabilan identitas pan-Arabisme di Timur Tengah.
Contoh lainnya, kematian Nasser pada tahun 1970 merubah rezim menjadi semakin diktator, yang secara logis oposisi bisa datang dari gerakan-gerakan Islam yang menggunakan bahasa renaisans yang berbeda, yaitu melalui keyakinan dan bukan identitas.