Lihat ke Halaman Asli

Angkot? Iya Angkutan Perkotaan!

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1357254466724943575

Siapa yang suka naik angkotttttt? Acungkan tangannyaaaaaa! Saya rasa, makin ke sini, makin sedikit orang yang menggunakan angkot sebagai salah satu pilihan transportasi umum. Penyebabnya macam-macam. Biasanya jawaban yang diberikan seperti ini: - "Kalau dihitung-hitung, lebih murah pakai motor sendiri. Apalagi sekarang cicil motor bisa cukup murah DPnya." - "Abisnya angkot kosong terus sih! Jalannya jadi lambat dan ngetem mulu cari penumpang." - "Naik angkot sereeem, suka ada perampokan, modusnya biasanya ada orang yang pura-pura muntah atau pakai tas gede untuk nutupin aksinya pas ngerampok." - "Hati-hati naik angkot, bahkan sampai ada pembunuhan di angkot." - silakan tambahkan lagi deretan alasannya :( Coba kita balik cerita ini ke beberapa tahun silam. Siap-siap naik mesin waktu ya :) Kita mulai ceritanya pas jaman saya SD. Saat SD, biasanya angkot dipakai jasanya untuk perjalanan pulang. Kalau perginya sih, cukup jalan kaki. Selain cuacanya belum panas, angkot di jalur pergi ke SD saya jalannya muter-muter. Nah, mulai kelas 3 SD, saya sudah mulai berani ngangkot tanpa ditemani orangtua. Bareng teman yang seperjalanan. Judul angkotnya: Angkutan Pedesaan. Dan (ya ampun ini dosa) dulu saya berdua sama temen, beberapa kali suka nilep uang ongkos. Jadi kita  berdua cuma bayar untuk 1 orang. Penumpang dan supir kan dibatasi oleh setengah kaca. Jadi 1 orang (saya atau teman saya) mengendap-ngendap dan stengah berdiri jalannya. Ngarep supaya supirnya menyangka penumpang yang turun hanya 1 orang. Hahahha, ampunilah kami bapak supiiiiirrr... Yah bgitulah nakalnya masa SD, untuk itu cuma dilakukan sesekali. Terlepas dari dongeng "seru" itu, angkot kuning tersebut punya peranan besar dalam mensukseskan masa sekolah SD saya :) Mari masuk ke masa SMP... Hmmm, tidak banyak yang bisa diceritakan di masa SMP ini terkait dengan angkot. Mengapa? Karena SMP saya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Deket banget! Tapi si angkot berperan saat saya main ke rumah teman. Yah, modusnya sih bisa kerja kelompok padahal tujuannya pengen main. Ini aib berikutnya yang terungkap hehehe. Tapi saya kan anak baik, jadi kebanyakan misi kerja kelompok tetaplah untuk mengerjakan tugas. Saat SMP, trayek angkot yang dipakai mulai bervariasi karena sebaran rumah teman pun lebih luas (walaupun masih di Cimahi-Cimahi juga). Oya, ada kegiatan rutin yang perlu berangkot! Baru inget ada kelas olahraga berenang. Renangnya sih tetep gak bisa-bisa, tapi kami selalu berkontribusi terhadap kesejahteraan supir angkot yang melewati area Sangkuriang. Dan jadi inget tragedi dimarahin supir angkot. Pernah ngerasa laper pas abis berenang kan? Nah, untuk mengantisipasi rasa lapar tersebut, saya bekal mie goreng pakai misting (dulu sih tujuannya bukan ramah lingkungan tapi ngirit heheh). Nah, si mie goreng itu saya makan di angkot saat perjalanan pulang. Itu supir angkotnya kesambet ato gimana gitu ya, tapi tau-tau marah-marah: "Kalau makan di rumah aja, Neng!" Waduh, ada aja nih balada kot-angkot! Jadi kalau diingat-ingat, cukup banyak lah cerita berbalada angkot di masa SMP. Mari pindah ke masa SMA. Ceritanya kurang lebih mirip dengan masa SMP. Hanya saja, saat itu saya pulang pergi naik angkot. Nah, ini tantangannya adalah: telat 5 menit berangkat saja, pasti langsung kebagian macet. Tema macetnya adalah si pintu kereta api. Jadi kalau kebetulan kecegat kereta yang lewat, kita (maksudnya yang SMP dan SMAnya 1 komplek) akan beramai-ramai turun angkot dan cepet-cepet jalan (setengah lari) mengambil jalan pintas. Salah satu bagian "seru" saat naik angkot jaman SMA ini adalah: lupa bawa duit! Pernah ngalamin ga? Itu udah segala dikodok (dikodok = dirogoh) tapi tetep gak nemu uang di dalam tas. Pilihannya hanya 2: 1) minta gratis sama supir angkot, tapi siap dimaki-maki. Atau supaya gak dimarahin, bisa pasang tampang memelas hehehe. 2) pinjam uang ke teman. Nah, tapi pusing kan kalo seangkot gada teman yang dikenal. Saya akhirnya pilih opsi no 2. Dan sok kenal sok akrab aja ke kakak kelas yang pakai bet SMA 2 Cimahi. Haduh! Itu malu banget rasanya. Tapi untuk menyelamatkan muka, bolehlah! Heheheh..Siangnya saya langsung bayar utang ke si teteh kakak kelas tsb. Tentunya atas pinjaman (paksa) ke teman. Ketika jaman SMA, saya masih tetep muter-muter di Cimahi. Jadi trayek yang dipakai, ya itu-itu juga. Oya, saat itu sedang trend ikut bimbel di Bandung seperti GO atau SSC. GO sebenarnya ada jg sih di Cimahi, tapi itu sepertinya menjadi modus teman-teman saya untuk lebih gaol getoh di Bandung (kale). Saat itu pun saya bimbel ke luar kota. Tapi bukan Bandung sodara-sodari! Batujajar. Macetnya sama lah seperti mau ke Bandung, tapi arahnya berbeda. Eits, jangan salah, walaupun tempat bimbelnya nyingcet alias terpencil, tapi kita belajarnya super serius dan intensif. Saat itu, kita bimbel ke aa-aa anak ITB perminyakan (cieeeeeh ehm) Yeah! begitulah masa sekolah yang muter-muter terus di kota Cimahi. Trayek angkotnya pun muter-muter juga di Cimahi. Pindah ke masa kuliah yuuuuk! Masa kuliah adalah masa dimana (akhirnya) saya beraktivitas di Bandung. Tapi nanti dulu! Angkot yang saya gunakan lewatnya ke jalan kampung. Jadi rute rutin yang benar-benar melewati jalan besar di kota Bandung sebenarnya cukup pendek. Mungkin ada yang pernah dengar trayek angkot Cimahi-Ledeng? Nahhhhh, itu angkot yang (sampai sekarang masih sepertinya) sedikit armadanya. Sehingga kalau jadwal kuliahnya sama (hari dan jam) maka peluang seangkot dengan orang yang samanya pun makin besar. Begitu juga dengan pekerja dan anak sekolah yang jadwalnya ngangkotnya sama. Akhirnya (secara tidak langsung) kita saling mengenal siapa saja teman seperjalanan kita. Mengenal dalam arti sempit maksudnya. Tahu muka, tahu dia turun dimana, tapi tidak saling bercakap-cakap. Itu angkot favorit dan idola banget saat itu. Sampai ada yang nangkel alias menggantung di pintu angkot. Padahal jalan yang dilewati turun naik! Aspek keselamatan penumpang sih disimpen di no 37,5 sepertinya heheheh. Ya begitulah kira-kira peranan angkot yang saya rasakan dulu (dan sampai sekarang). Banyak yang telah berubah dalam pola penggunaan angkot. Dari idola sampai akhirnya sekarang si angkot ini merana. Dari yang penumpangnya penuh (bahkan sampai nangkel) sampai kita seakan-akan punya supir pribadi. Dari yang asalnya ada kenek (petugas yang menagih ongkos dan jadi asisten supir) sampai akhirnya tidak ada lagi sekarang profesi "kenek angkot". "Boro-boro buat bayar kenek, buat setoran aja kurang, neng!" , begitu jeritan para supir angkot. Dulu juga ampuh banget yang namanya mogok angkot. Sehari saja  mereka mogok, kacaulah sudah! Begitulah sekilas suka duka menjadi angkoters! Sebagai penerima manfaat dari jasa dari para supir angkot, saya masih mencari terus gera'an-gera'an yang bisa membangkitkan kembali sarana transportasi umum angkot ini. Di Bandung belum nemu. Padahal kalau banyak orang mau beralih ke kendaraan umum (bisa angkot atau lainnya), beberapa masalah akan bisa teratasi. Sebut saja seperti: kemacetan, polusi udara, pemborosan penggunaan bensin sebagai sumber daya alam yang jumlahnya kian sedikit dll. Sempat lirik-lirik gerakan @nebengers. Memang bukan langsung ke budaya pakai kendaraan umum, tapi semangatnya sama-sama berupaya untuk mengurangi masalah-masalah di atas. Dan tentunya menumbuhkan kembali budaya berbagi. Coba kepo-kepo TL mereka untuk lihat gerakannya. Menarik! Ayoooo, apakah ada yang punya ide cerdas untuk menghidupkan kembali budaya ngangkot? Keterangan: foto diambil dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline