Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Ada Orang yang Tak Mau Disalahartikan? Ini Penjelasan Psikologisnya

Diperbarui: 25 Oktober 2024   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dalam hidup, kita pasti pernah bertemu dengan orang yang tampaknya tidak bisa menerima kesalahan, baik itu dalam lingkungan kerja, pertemanan, atau bahkan keluarga. Ketika situasi menunjukkan bahwa mereka salah, mereka cenderung bertahan, berdebat, atau mencari alasan agar tetap terlihat benar. Sikap seperti ini lebih dari sekadar keras kepala; ada faktor psikologis yang membuat mereka terus-menerus membela diri.

Salah satu alasan utama seseorang sulit menerima kesalahan adalah karena mereka memiliki mekanisme pertahanan diri yang kuat. Ketika seseorang merasa dirinya sedang diserang atau disalahkan, otak mereka mungkin bereaksi dengan "fight or flight" - bertahan atau menghindar. Bertahan dengan keras kepala adalah bentuk dari "fight", di mana mereka mencoba melindungi harga diri atau identitas diri mereka dari ancaman.

Bagi sebagian orang, mengakui kesalahan sama artinya dengan menurunkan harga diri. Ini sering terjadi pada orang-orang yang mengaitkan nilai diri mereka dengan kesuksesan atau pencapaian. Dengan kata lain, jika mereka mengakui kesalahan, mereka merasa itu adalah bukti bahwa mereka gagal sebagai pribadi, bukan sekadar sebuah kekeliruan. Rasa takut ini bisa membuat mereka terus-menerus menyangkal dan mencari pembenaran.

Kebiasaan ini juga bisa berasal dari pengalaman masa kecil. Orang yang tumbuh dalam lingkungan yang selalu menghakimi atau menuntut kesempurnaan cenderung mengembangkan pola berpikir bahwa "salah = buruk". Mereka menjadi sangat defensif, bahkan ketika mereka dewasa, karena terbiasa dengan tekanan untuk selalu benar dan takut terhadap konsekuensi jika salah. 

Beberapa orang yang tampaknya selalu benar mungkin sebenarnya adalah perfeksionis yang merasa tidak aman (insecure). Mereka ingin terlihat kompeten, tangguh, atau bahkan tak terbantahkan, karena menganggap kesalahan adalah bukti ketidakmampuan atau kelemahan. Di balik rasa "harus selalu benar" ini, biasanya ada rasa takut akan kritik atau dianggap tidak kompeten oleh orang lain.

Tidak semua orang memiliki kemampuan refleksi diri yang cukup baik. Bagi sebagian orang, mengenali kesalahan diri sendiri adalah keterampilan yang sulit. Kemampuan ini membutuhkan kebesaran hati dan rasa aman dalam diri sendiri, sehingga seseorang mampu mengakui kesalahan dan belajar darinya. Tanpa kemampuan refleksi ini, mereka akan cenderung menyangkal dan berusaha tetap benar.

Ketika seseorang menghadapi bukti atau argumen yang bertentangan dengan keyakinan mereka, mereka bisa merasakan tekanan psikologis yang disebut cognitive dissonance. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman ini, beberapa orang mencoba mempertahankan sudut pandang mereka, meskipun sebenarnya salah. Cognitive dissonance membuat orang merasa lebih baik dengan mempertahankan apa yang sudah mereka percaya, daripada menghadapi ketidaksesuaian tersebut.

Menghadapi orang yang "selalu merasa benar" memang menantang, tapi memahami sisi psikologisnya bisa membantu kita bersikap lebih sabar dan strategis dalam menyikapinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline