Lihat ke Halaman Asli

Anik NurAini

Mahasiswa

Dekonstruksi Norma HAM

Diperbarui: 13 Desember 2023   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://news.republika.co.id

Hak Asasi Manusia bersifat universal (untuk semua orang, waktu dan tempat), merupakan milik semua orang (Chan, 1995: 28) dan harus dilaksanakan oleh semua orang (Prajarto, 2003: 377). Hakikat hak asasi manusia adalah menjamin keamanan kelangsungan hidup seluruh umat manusia dengan menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan umum. 

Demikian pula, komitmen untuk menghormati, melindungi, dan membela hak asasi manusia merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (baik pejabat sipil maupun militer), dan negara. Hak asasi manusia, harga diri, martabat dan pengakuan harkat dan martabat manusia telah ada sejak awal mula umat manusia  dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. 

Dalam hukum dasar negara Indonesia yaitu dalam UUD RI 1945 (sebelum diamandemen), istilah Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terdapat baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasannya, tetapi tercantum Hak Warga Negara dan Hak Penduduk yang dikaitkan dengan kewajibannya, antara lain tercantum dalam pasal 27, 28, 29, 30, dan 31.

Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan lebih diperhatikan dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi daripada era sebelumnya. Pada era reformasi perjuangan untuk penegakan HAM lebih memberikan harapan. Berbagai upaya baik yang dilakukan pemerintah, organisasi kemasyarakatan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (L.SM) meskipun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan bangsa Indonesia, tapi sudah adanya kemajuan dari masa sebelumnya (Orde Baru) sudah mulai tampak. 

Berbagai upaya perlindungan HAM yang sudah mulai dirintis dan sedang berjalan hingga sekarang perlu diapresiasi. Penegakan HAM di Indonesia telah melakukan langkah-langkah konkrit, antara lain ialah memasukkan HAM ke dalam perundang-undangan. Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya telah sangat akomodatif terhadap HAM. Sebut saja di dalam Pancasila, Pembukaan UUD RI 1945, dalam batang tubuh UUD RI 1945 dan beberapa ketetapan, peraturan dan undang undang produk penguasa. Selain itu, Indonesia telah ikut meratifikasi berbagai macam hukum-hukum Internasional yang berkenaan dengan perlindungan terhadap HAM.

Meskipun demikian, persoalan perbaikan dan perlindungan HAM di Indonesia terus muncul dari kontroversi penerapan UU tentang HAM, gugatan terhadap eksistensi Komisi Nasional HAM serta penerapan hukum bagi pelanggar HAM yang banyak dipertanyakan masyarakat. Pada gilirannya, kurang memadainya landasan kuat untuk jaminan HAM memunculkan kekhawatiran tentang ragam pelanggaran HAM yang secara potensial akan tetap muncul, meskipun tidak ada jaminan  bahwa landasan yang solid untuk penegakan HAM akan meniadakan pelanggaran. Pernyataan ini tentunya senada dengan pernyataan Amnesty Internasional (1994 dan 1998) yang menyatakan tahwa tidak ada satu negara pun yang terbebas dari persoalan dan pelanggaran HAM.

Pelanggaran hak asasi manusia dikategorikan atas 2 (dua) macam yaitu pelanggaran biasa (isolated crime), dan pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violation of human rights) atau sering disebut extra ordinary crimes. Hal umum yang sebenarnya kurang tepat diterapkan adalah bentuk pemahaman dan kesadaran untuk menghormati nilai-nilai HAM di Indonesia yang sering terjebak pada persoalan ukuran atau besaran. Pelanggaran HAM diukur secara kuantitatif atas dasar besaran jumlah korban tingkat kekejian dan cara pelanggaran itu dilakukan serta aktor dan dalang dalam kasus pelanggaran itu. 

Artinya, kasus pelanggaran HAM akan cenderung disoroti dan ditangani lebih serius bila jumlah korban, jenis tindak pelanggaran dan aktor pelakunya terkategori berat dan memenuhi kelayakan muat di media massa. Padahal persoalan dan pelanggaran kecil sekalipun mestinya tetap dipahami sebagai sebuah persoalan hak asasi manusia Indonesia. Selain itu, bentuk pelanggaran HAM-nya harus dipandang sebagai suatu kesalahan yang layak dan harus dibenahi.

Di Indonesia sendiri, kontribusi media massa kurang banyak membantu persebaran demokrasi dan HAM karena agenda media dan agenda publik cenderung tidak terlalu memperhatikannya. Persoalan nyata di dalam masyarakat menyebabkan partisipasi masyarakat dan partisipasi media untuk membantu tercapainya democratic governance menempati posisi kesekian setelah semua kebutuhan mendasar didalam masyarakat terpenuhi. Artinya, partisipasi media dan masyarakat dalam kaitannya dengan upaya penegakan HAM tetap mengalami kesulitan dalam mengubah audience pasif menjadi warganegara yang aktif. Hal tersebut juga dilatarbelakangi karena kurangnya pemahaman kesadaran masyarakat akan pentingnya HAM. Masyarakat seringkali hanya melihat pelanggaran HAM yang besar dan berat, dan mengabaikan pelanggaran HAM yang kecil.

Sumber: Komnas HAM

Meskipun angka pelanggaran terhadap HAM sempat mengalami penurunan, pengaduan HAM mulai meningkat kembali pada tahun 2022. Hal ini dibuktikan selama tahun 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 3.190 aduan dari masyarakat, yang mana hal ini meningkat dari tahun 2021 sebanyak 2.729 aduan dugaan pelanggaran HAM. Kenyataan tersebut memiliki makna bahwa hukum dan kelembagaan HAM di Indonesia masih belum stabil dan memadai untuk melindungi hak-hak masyarakat secara efektif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline