Desa Adat Penglipuran ialah salah satu Desa Bali Mula atau Bali Aga yang terletak di Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Desa ini terletak pada jarak 45 km dari Denpasar dan 5 km dari Ibu Kota Kabupaten Bangli. Menurut masyarakat setempat, kata penglipuran berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti tempat suci yang ditujukan untuk memuja para leluhur. Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu desa Bali Mula yang tetap memegang teguh tradisi dan nilai-nilai tradisonal masyarakat Bali. Menurut Lasmawan Penataan wilayah di Desa Adat Penglipuran merupakan simbol suci dari adat dan tradisi yang telah berlangsung selama ribuan tahun, memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam menjaga harmonisasi lingkungan.
Menurut masyarakat Adat Penglipuran, lingkungan alam dan sosial ialah simpul-simpul yang memberikan esensi jiwa dan keceriaan hidup. Mereka percaya bahwa ruang yang digunakan sebagai tempat tinggal manusia memiliki nilai religius magis sehingga perlu dijaga dan dilestarikan agar tercipta keseimbangan antara manusia dengan ekosistem lainnya. Dengan adanya pemanfaatan ruang dengan tepat, berbagai permasalahan keruangan tidak akan terjadi.
Ciri khas yang melekat pada Desa Penglipuran ialah segi arsitektur bangunan tradisional yang kebanyakan memiliki bentuk yang sama persis dari ujung desa ke ujung lainnya. Keunikan ini menjadikan Desa Penglipuran sebagai tempat yang populer. Desa ini dikenal sangat indah dengan kesimetrisan yang amat tertata rapi antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pola linear pada pemukiman Desa Adat Penglipuran dengan sistem pembagian Tata Ruang horisontal bersumbu gunung dan laut dengan orientasi arah mata angin dengan sumbu Kaja (utara) atau Gunung, dan Kelod (selatan) atau laut. Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa Adat Penglipuran menganut konsep Tri Angga yang dalam bhuana agung sering disebut dengan Tri Loka atau disebut Tri Mandala.
Pola tata ruang pada masyarakat Desa Adat Penglipuran didasarkan pada tiga konsep yakni, Tri Hita Karana, Tri Mandala, Asta Kosala Kosali. Konsep Tri Hita Karana digunakan untuk melestarikan lingkungan. Masyarakat setempat menciptakan hutan keramat sebagai upaya menciptakan hubungan manusia dengan alam semesta agar lebih harmonis.
Dalam pembangunan rumah, digunakan pula konsep yang kuat, yaitu asta kosala kosali, yang menentukan struktur bangunan dengan fungsinya masing-masing. Dengan menggunakan konsep ini setiap pekarangan rumah harus dikelilingi dengan tembok (pagar) dan setiap tembok antar tentangga terdapat jalan untuk dilintasi. Menurut Dwijendra (2009) Pagar dan gapura rumah juga dibangun dari tanah liat dan harus beratapkan bambu. Dalam pengukuran pun lebih menggunakan ukuran dari tubuh yang mempunyai rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan seperti ; 1) Musti, 2) hasta, 3) depa. Pola desa bangunan Adat Penglipuran umumnya berjejer dari utara keselatan dengan wilayah-wilayah yang telah didasarkan pada konsep hulu-teben. Berdasarkan pembagian tata ruang tersebut akan lebih memudahkan masyarakat dalam memetakan tempat untuk membangun pura sebagai tempat suci, pemukiman, sekolah, lapangan olah raga, kuburan, jalan dan pasilitas lainnya.
Konsep tri mandala juga menjadi pedoman dalam membangun pekarangan rumah pada masing-masing keluarga, dimana pada setiap
pekarangan dibagi menjadi tiga yaitu utama mandala, madya mandala dan nista mandala. Menurut Kaler (1983) Konsep tri mandala berdasarkan pada tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, badan dan kaki, yang mempunyai fungsi masing-masing dan saling tergantung satu sama lain.
Seluruh bagian lahan yang terdapat di desa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Mereka membuat hutan bambu di sebelah utara desa yang diharapkan dapat menyerap tanah sehingga menghambat terjadinya banjir, selain itu masyarakat juga mengelola daun bambu untuk dijadikan pupuk maupun kompos. Pupuk tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk bercocok tanam, juga dijual ke luar desa penglipuran.
Satu dari sekian banyak hal unik di Desa Penglipuran ini adalah masyarakat mengelola desa ini dengan kearifan lokal. Mereka memanfaatkan tata ruang desa dan tradisi yang dimilikinya sebagai tujuan wisata. Menurut Nuryanti (1993), desa wisata ialah suatu bentuk integrasi
antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Dalam perkembangannya sebagai desa wisata, linglungan perdesaan dapat dipandang sebagai objek sekaligus juga subjek. Dikatakan objek berarti desa tersebut merupakan tujuan pariwisata, sedangkan disebut subjek karena sebagai penyelenggara, mereka akan mendapatkan keuntungan dari hasil pariwisata yang dapat digunakan sebagai kelangsungan hidup.
Perkembangan desa menjadi potensi pariwisata mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Dengan berdirinya desa pariwisata akan membuka lahan pekerjaan baru sehingga dapat mengurangi potensi pengangguran. Selain itu pariwisata di Desa Penglipuran menggunakan konsep ekowisata dimana mereka tetap melestarikan alam serta budaya yang ada. Pariwisata Desa Penglipuran pada kenyataannya sangat membantu mempengaruhi kesejahteraan sosial masyarakat. Todaro (2003) menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah kebawah dapat dilihat dari dari tingkat hidup masyarakat. Apabila tingkat kemiskinan menurun, kesehatan semakin baik, tingkat pendidikan tinggi, serta produktivitas meningkat dari masyarakat maka dapat dikatakan bahwa masyarakat hidup dalam kesejahteraan yang baik.
Meski dikenal sebagai tujuan wisata, pengunjung tidak diperbolehkan mengotori maupun membuang sampah sembarangan.
Masyarakat didesa ini sangat memegang teguh prinsip keep clean, clear and green.
Dalam mengurusi masalah sampah, mereka menyediakan tempat sampah di setiap sudut desa serta dalam pengelola sampah yakni terdapat pengelolaan tersendiri bernama bank sampah. Selain hal tersebut, agar kondisi lingkungan dan tata ruang tetap terjaga, Masyarakat Adat Penglipuran melakukan pelestarian lewat berbagai hal seperti, 1) pembuatan hukum adat, 2) meletakkan pengelolaan tata ruang pada lembaga adat, 3) memberikan tangungjawab kepada seluruh anggota masyarakat dalam menjaga kelestarian alam, 4) menetapkan hutan lindung, 5) menetapkan wilayah pekarangan dan arsitektur bangunan yang mencerminkan nilai-nilai lokal, dan 6) memberikan sanksi kepada warga masyarakat yang melanggar ketentuan hukum ada yang berlaku
Sumber:
IGBYS Bagiana, I Nyoman Mahaendra Yasa. 2017. Pengembangan Desa Wisata Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Desa Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli