Lihat ke Halaman Asli

Permasalahan Demokrasi di Indonesia

Diperbarui: 4 April 2017   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi dipandang sebagai sebagai sesuatu yang penting karena nilai-nilai yang dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama, atau masyarakat dan pemerintahan yang baik (good society and good government). Kebaikan dari sistem demokrasi adalah kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, baik secara langsung maupun perwakilan. Secara teoritis, peluang terlaksananya partisipasi politik dan partisipasi warga negara dari seluruh lapisan masyarakat terbuka lebar. Masyarakat juga dapat melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pemerintahan karena posisi masyarakat adalah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Namun dalam praktek atau pelaksanaan demokrasi khususnya di Indonesia, tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada. Demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Partisipasi warga negara dalam bidang politik pun belum terlaksana sepenuhnya. Untuk memaparkan lebih lanjut, permasalahan demokrasi yang ada perlu dikelompokkan lagi menjadi tiga hal, yaitu dari segi teknis atau prosedur, etika politik, serta sistem demokrasi secara keseluruhan.

Dari segi teknis atau prosedur, demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terlaksana. Hal ini dapat dibuktikan dengan terlaksananya pemilu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Bahkan, pemilu Indonesia tahun 1999 mendapat apresiasi dari dunia internasional sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, adil, dan dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik ketika itu adalah 92,7%.

Namun sesungguhnya pemilu 1999 yang dipandang baik ini mengalami penurunan partisipasi politik dari pemilu sebelumnya yaitu tahun 1997 yang mencapai 96,6 %. Tingkat partisipasi ppolitik di tahun berikutnya pun mengalami penurunan, dimana pada pemilu tahun 2004, tingkat partisipasi politik mencapai 84,1 % untuk pemilu Legislatif, dan 78,2 % untuk Pilpres. Kemudian pada pemilu 2009, tingkat partisipasi politik mencapai 10,9 % untuk pemilu Legislatif dan 71,7 % untuk Pilpres.

Menurunnya angka partisipasi politik di Indonesia dalam pelaksanaan pemilu ini berbanding terbalik dengan angka golput (golongan putih) yang semakin meningkat. Tingginya angka golput ini menunjukkan apatisme dari masyarakat di tengah pesta demokrasi, karena sesungguhnya pemilu merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mewakili masyarakat, baik yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun Presiden dan Wakil Presiden.

Hak untuk memilih atau mengemukakan pendapat tergolong sebagai Hak Asasi Manusia yang pelaksanaannya dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Tingginya angka golput mungkin berasal dari pandangan masyarakat yang memandang bahwa hak asai manusia merupakan suatu kebebasan, yang dalam hal ini adalah kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak. Memang tidak ada aturan atau hukum yang menjerat bagi orang-orang yang tidak turut serta berpartisipasi politik dalam pemilu, namun apabila terus dibiarkan angka golput terus meningkat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia yang akan semakin tidak berkualitas akibat rendahnya partisipasi dari para warganya.

Yang kedua adalah demokrasi dipandang dari segi etika politiknya. Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Walaupun dalam konteks politik berkaitan erat dengan masyarakat, bangsa dan negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.

Masih mengambil contoh yang sama yaitu mengenai pemilihan umum, dimana pemilihan umum yang seharusnya terjadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah pemilihan umum secara langsung dan umum, sera bersifat bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun bagaimanakah etika politik dari para aktor dalam pemilihan umum, khususnya calon pemerintah dan calon wakil rakyat di Indonesia ?

Pemilihan umum di Indonesia merupakan arena pertarungan aktor-aktor yang haus akan popularitas dan kekuasaan. Sebagian besar petinggi pemerintahan di Indonesia adalah orang-orang yang sangat pandai mengumbar janji untuk memikat hati rakyat. Menjelang pemilihan umum, mereka akan mengucapkan berbagai janji mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka lakukan apabila terpilih dalam pemilu, mereka berjanji untuk mensejahterakan rakyat, meringankan biaya pendidikan dan kesehatan, mengupayakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, dan sebagainya.Tidak hanya janji-janji yang mereka gunakan untuk mencari popularitas di kalangan rakyat melalui tindakan money politics.

Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan melanggar etika politik. Hak pilih yang merupakan hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan oleh orang lain, namun melalui money politics secara tidak langsung mereka mempengaruhi seseorang dalam penggunaan hak pilihnya. Selain itu, perbuatan para calon petinggi pemerintahan tersebut juga melanggar prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan mempengaruhi hak pilih seseorang merupakan perbuatan yang tidak jujur, karena jika rakyat yang dipengaruhi tersebut mau memilihnya pun hanya atas dasar penilaian yang subyektif, tanpa memandang kemampuan yang dimiliki oleh calon tersebut. Tindakan ini juga merupakan persaingan yang tidak sehat dan tidak adil bagi calon lain yang menjadi pesaingnya.

Apabila calon petinggi pemerintahan yang sejak awal sudah melakukan persaingan tidak sehat tersebut berhasil menduduki jabatan pemerintahan, tentu sangat diragukan apakah ia dapat menjalankan pemerintahan yang bersih atau tidak. Terbukti dengan begitu banyaknya petinggi pemerintahan di Indonesia saat ini, khususnya mereka yang duduk di kursi DPR sebagai wakil rakyat, yang terlibat kasus korupsi. Ini adalah buah dari kecurangan yang mereka lakukan melalui money politics dimana mereka sudah mengaluarkan begitu banyak dana demi membeli suara rakyat, sehingga ketika mereka berkuasa mereka akan cenderung memanfaatkan kekuasaannya yang antara lain bertujuan untuk mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan tersebut.

Tidak hanya korupsi, sikap atau perilaku keseharian para wakil rakyat tersebut juga tidak menunjukkan etika politik yang baik sebagai seseorang yang seharusnya mengayomi dan menjadi penyambung lidah rakyat demi mencapai kesejahteraan rakyat. Mereka kehilangan semangat dan tekad untuk membela rakyat yang bertujuan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, yang mereka ungkapkan ketika masih menjadi calon wakil rakyat. Mereka kehilangan jatidiri sebagai seorang pemimpin dan justru menyalahgunakan kepercayaan rakyat terhadap mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Terbukti banyak anggota DPR yang menginginkan gaji tinggi, adanya berbagai fasilitas dan sarana yang mewah yang semuanya itu menghabiskan dana dari rakyat, dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan, bahkan untuk sekedar rapat saja mereka tidak menghadiri dan hanya titip absen, atau mungkin hadir namun tidak berpartisipasi aktif dalam rapat tersebut. Sering diberitakan ada wakil rakyat yang tidur ketika rapat berlangsung.

Terakhir atau yang ketiga adalah permasalahan demokrasi dipandang dari segi sistemnya secara keseluruhan, mencakup infrastruktur dan suprastruktur politik di Indonesia.Infrastruktur politik adalah mesin politik informasl berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik (political party), kelmpok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi politik (political communication media), dan tokoh politik (political figure). Disebut sebagai infrastruktur politik karena mereka termasuk pranata sosial dan yang menjaid konsen masing-masing kelompok adalah kepentingan kelompok mereka masing-masing.

Sedangkan suprastruktur politik (elit pemerintah) merupakan mesin politik formal di suatu negara sebagai penggerak politik formal. Kehidupan politik pemerintah bersifat kompleks karena akan bersinggungan dengan lembaga-lembaga negara yang ada, fungsi, dan wewenang/kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan ketatanegaraan modern, pada umunya elit politik pemerintah dibagi dalam kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif(pembuat undang-undang), danyudikatif (yang mengadili pelanggaran undang-undang), dengan sistem pembagian kekuasaaan atau pemisahan kekuasaan.

Dalam pelaksanaan demokrasi, harus ada hubungan atau relasi yang seimbang antar komponen yang ada. Tugas, wewenang, dan hubungan antar lembaga negara itu pun diatur dalam UUD 1945. Relasi atau hubungan yang seimbang antar lembaga dalam komponen infrastruktur maupun suprasruktur, serta antara infrastruktur dengan suprastruktur akan menghasilkan suatu keteraturan kehidupan politik dalam sebuah negara. Namun tetap saja, penyimpangan dan permasalahan itu selalu ada dalam kehidupan masyarakat yang beragam dan senantiasa berubah seiring waktu.

Dalam lembaga legiflatif (DPR) misalnya, sebagai lembaga yang dipilih oleh rakyat, dan kedudukannya adalah sebagai wakil rakyat yang sebisa mungkin harus memposisikan diri sebagai penyambung lidah rakyat, megingat pemegang kekuasaan tertinggu dslam negara demokrasi adalah rakyat (kedaulatan rakyat). Namun dalam pelaksanaannya, lembaga negara tidak memposisikan diri sebagai penyampai aspirasi rakyat dan representasi dari kehendak rakyat untuk mencapai kesejahteraan, namun justru lembaga negara tersebut sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah negara, dan rakyat harus tunduk terhadap kekuasaan tersebut.

Contoh lain adalah dalam lembaga yudikatif, atau lembaga yang bertugas mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Hukum di Indonesia adalah hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Siapa yang punya uang, tentu akan mengalami hukuman yang ringan meskipun melakukan kesalahan yang besar. Sebaliknya, apabila tidak punya uang, dia tidak bisa berkutik dengan hukuman yang dijatuhkan padanya meskipun kesalahan yang dilakukan tergolong ringan. Bukti bahwa hukum Indonesia bisa dibeli adalah adanya hakim yang tertangkap akibat menerima suap untuk meringankan kasus yang sedang ia tangani. Atau contoh lain adalah seorang pejabat tinggi pemerintahan yang sedang menjalani hukuman, namun dapat dengan mudah keluar masuk penjara dengan berbagai alasan atau kepentingan, dan tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan oleh rakyat kecil.

Permasalahan yang terkait dengan komponen infrastruktur politik belum efektifnya peran lembaga-lembaga tersebut demi kepentingan rakyat, dan terkadang justru pelaksanaannya hanya demi kepentingan kelompok atau individu. Dalam hal kebebasan pers misalnya, meskipun sudah dijamin dalam UUD 1945 namun pelaksanaannya belum sepenuhnya efektif. Contohnya adalah adanya wartawan yang meliput kasus atau persoalan publik, justru diculik, dianiaya, atau bahkan dibunuh.

Selain itu, partai politik telah beralih fungsi dari lembaga demokrasi menjadi lembaga yang yang mirip dengan perusahaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan. Terbukti dengan keterlibatan partai politik dalam berbagai kasus korupsi, transaksi-transaksi politik dalam pemilihan daerah, serta money politics. Partai politik juga menjadi rumah bagi orang-orang tertentu yang mengejar popularitas dan kekuasaan, serta untuk menguasai sumber daya alam tertentu. Komersialisasi partai politik ini juga terlihat dalam kaderisasinya, dimana banyak anggota partai politik yang direkrut adalah pengusaha-pengusaha, yang sebenarnya hanya dijadikan tunggangan agar partai politik tersebut dapat dengan mudah memperoleh dana, misalnya dari adanya proyek-proyek.

Permasalahan-permasalahan demokrasi yang terjadi di Indonesia ini harus segera ditangani karena sudah mencapai titik kritis. Apabiladibiarkan tanpa ada upaya penyelesaian, demokrasi di Indonesia akan mati, dan negara Indonesia justru mengarah pada negara dengan pemerintahan yang otoriter. Kedaulatan rakyat tidak lagi berlaku, aspirasi rakyat melalui kebebasab pers terlalu dibatasi. Bahkan lembaga yang bertugas sebagai penyampai aspirasi rakyat seperti DPR dan partai politik telah beralih fungsi menjadi lembaga yang menjadi rumah bagi pihak-pihak yang menginginklan popularitas, kekuasaan, dan kekayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline