Lihat ke Halaman Asli

anifatus saniyah

mahasiswa ilmu al-Qur'an dan tafsir

Dilema Status LGBT di Negara Hukum

Diperbarui: 8 Juli 2024   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata LGBT sudah tidak asing lagi untuk didengar seluruh masyarakat Indonesia. Lesbian, gay, biseksual dan transeksual atau LGBT sudah ada sejak dahulu dan baru-baru ini keberadaan mereka tertampakan oleh publik setelah adanya pembebasan dan pengakuan di negara Eropa. Terbaru, negara tetangga -- Thailand -- juga menyatakan legalitas peredaran kelompok LGBT. 

Alasan klasik yang kerap dimunculkan adalah "LGBT merupakan bagian dari warga negara. Mereka bukanlah suatu ancaman bagi negara, sebab LGBT pun manusia seperti biasanya, hanya saja berbeda dalam segi orientasi seksual yang 'dianggap' menyimpang".
Keberadaan LGBT -- masyarakat yang lebih melek isu menyebut LGBT sebagai belok -- di negara Indonesia masih dianggap sesuatu hal yang tabu. Karenanya mereka menjadi kelompok minoritas. 

Muasalnya jelas, yaitu realitas bahwa masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai norma, budaya dan agama yang melarang adanya hubungan seksual dengan sejenis dan perubahan identitas. Tidak jarang kelompok LGBT mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kekerasan oleh masyarakat sebab bentuk kelainan yang mereka miliki. Di lain sisi ternyata ada pula masyarakat yang menganggap LGBT adalah sesuatu yang wajar. 

Mereka menilai LGBT menggunakan kacamata Barat, sehingga sebagian LGBT di Indonesia menampakan identitas mereka. Pandangan seperti ini jelas didasari oleh dalih Hak Asasi Manusia di negara demokrasi yang sering kali disampaikan dalam setiap seminar dan kajian. Bahwa setiap manusia memiliki hak alamiah atau kodrati yang wajib diakui. 

Problemnya sekarang, sebagaimana tokoh utilirarian menegaskan, hak kodrati tidak bisa hidup tanpa peran government dan konstitusi. Oleh karena itu, artikel ini dimaksudkan membincang LGBT melalui kacamata hukum positif berikut perdebatannya.
Pada 5 Februari 2018, sebagaimana diberitakan dalam Koran TEMPO, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menegaskan bahwa ketentuan tentang draft revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHP) yang diantaranya berisi tentang aturan pidana bagi LGBT sangat berpotensi mengingkari prinsip persamaan di depan hukum -- asas ini dikenal dengan sebutan equality before the law. "Kalau dibiarkan, secara tidak disadari, kita bisa masuk pada suatu kekuasaan yang luar biasa dari negara sehingga kita tidak lagi mempunyai kemerdekaan," katanya. 

Artinya, Komnas HAM berdalih bahwa manusia memiliki hak kebebasan untuk menentukan sesuatu seperti penentuan dalam orientasi seksual dan menikah dengan orang yang disukainya. Ya, sekali lagi, ini adalah soal kebebasan. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa kebebasan dalam konsitusi wajib juga setali lurus dengan keamanan dan ketertiban. Simak misalnya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada amendemen II sudah secara tegas memasukkan hak atas rasa aman ini di Pasal 28A-28I. Juga, diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2009 tentang HAM, "Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu". Ada pula Pasal 35 yang berbunyi, "Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram yang menghormati, melindungi, dan melaksakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang ini."
Kenyataannya memang demikian, bahwa orang Indonesia merasa terancam dengan adanya bahasan mengenai LGBT. Negara memahami hal tersebut, dan tampaknya itulah alasan mengapa dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan tertulis bahwa "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Dari ulasan di atas perlu nyatanya hukum di negara ini tetap menegur dan menghukum perilaku seksual yang tidak sesuai dengan moral dan nilai serta norma masyarakat.
Jalan ke Depan
Pengungkapan identitas LGBT masih belum bisa diterima oleh masyarakat Indonesia. Selain karena faktor moral, ini juga berkaitan dengan ancaman hukum pula. Namun kita takbisa mengabaikan realitas bahwa kaum pelangi sudah eksis di Indonesia. Modus operandi mereka smooth, lewat penutupan identitas yang menjadi upaya dalam memenuhi hak kebebasan. Ini justru menimbulkan masalah yang kompleks, sebab kerap kali merugikan banyak pihak. Misal, kasus viral di media sosial terkait pernikahan sesama jenis pria di Halmahera Selatan, Maluku Utara menjadi sebuah contoh perubahan Identitas dilakukan demi tercapainya hak mereka untuk diakui. Ini adalah sebuah kejahatan karena memberikan efek negatif bagi masyarakat sekitar dan berbagai pihak merasa di rugikan terlebih Pernikahan kali ini seorang mempelai wanita yang mengubah identitas dan pihak mempelai pria tidak mengetahui hal tersebut.
Kompleksitas masalah yang melatari isu LGBT membuat penulis memandang perlu adanya upaya serius yang berani membincang kasus ini. Bukan untuk dijadikan sebagai konsensus, melainkan antisipasi supaya ke depan tidak ada lagi hal buruk yang terjadi, setidaknya mengurangi dampaknya. Penulis sadar bahwa LGBT akan terus menjadi isu sosial, karena keberadaan mereka adalah sebuah aib yang tidak bisa terus disembunyikan. Masalah sosial seperti ini akan menimbulkan dampak yang mengerikan bagi generasi setelahnya dan merusak agama serta budaya yang telah ada. Berdasarkan penelitian dari Kevin dkk (2023) LGBT merupakan penyakit ganguan kejiwaan yang bisa disembuhkan dan status hukum mereka masih warga negara sebagaimana termaktup dalam UU kesehatan No. 36 pasal148 ayat 1 yang berbunyi "Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara". Namun perlu dicatat, bahwa peraturan ini telah terbatasi oleh hak-hak lainnya seperti hak dalam menikah, hak masuk dalam pemerintah dan hak dalam mengekspresikan diri.
Sejalan dengan keyakinan Kevin dkk (2023), upaya untuk menyembuhkan orientasi seksual -- atau minimal bisa mengedukasi --kaum minoritas seperti LGBT dapat dilakukan melalui pendekatan dari berbagai pihak yang bersangkutan. Berawal dari advokasi hukum yang memberikan kebijakan secara inklusif untuk berani mendiskusikan isu LGBT dengan tetap mengedepankan aspek anti kekerasan dan diskriminasi. Karenanya dukungan dan kerja sama antar komunitas wajib digalakkan demi menciptakan keadaan masyarakat yang inklusif.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline