Malang Selatan banjir, tanah longsor juga menimpa warga yang tak bersiap apa-apa meski sering hal demikian terjadi. Kepanikan tergambar jelas di raut-raut muka mereka, saya saksikan lewat foto dan video yang dikirim kawan-kawan guru di sana.
Rumah-rumah tergenang, jembatan ambrol, jalan raya berubah menjadi sungai. Jerit tangis anak-anak di gendongan ibunya, teriakan panik siswa karena terjebak di sekolah membuat saya mengelus dada.
"Gusti, musibah itu bisa saja menimpa saya, pasti bingung, sedih seperti mereka."
Sebuah pikiran yang enggan menghilang. Saya membayangkan diri ini jika jadi mereka. Sehingga tumpah kesedihan, membuncah memenuhi rongga dada, menggerimiskan butir air mata.
Apa yang bisa saya lakukan?
Apa kebutuhan utama mereka?
Saya bukan orang berada jika harus memberi bantuan finansial, kalaupun punya hanya sepersekian dibanding yang mereka perlukan. Saya pun tidak punya jabatan apa apa yang memungkinkan melakukan penggalangan dana. Saya hanya perempuan biasa dengan rasa keibuan yang turut merasakan kesedihan jika ada anggota keluarga mendapat musibah.
Hanya ingin melakukan sesuatu, itu saja. Tanpa berpikir siapa yang menerima atau bagaimana latar belakangnya. Terpenting bisa sedikit meringankan. Sehingga ketika seseorang mendorong saya membuka bantuan, open donasi pribadi untuk diberikan pada kawan, saya anggukkan.
Kawan saya di Bajulmati Malang selatan, mempunyai padepokan yang saya anggap pelestari budaya jawa. Dia mengelolanya untuk siapa saja yang ingin belajar. Tanpa memedulikan keyakinan atau etnis dan suku. Sering menjadi rujukan mahasiswa luar negeri malah untuk belajar toleransi yang dikembangkan kawan saya di padepokannya itu. Potret harmoni keberagaman yang layak menjadi teladan. Itu pikiran saya ketika pernah berkunjung ke tempatnya bertahun lalu.
Di kawasannya berdiri berdampingan rumah ibadah umat Kristiani juga Hindu disamping musholla. Diantara tetangganya juga menganut berbagai keyakinan. Dalam balutan budaya jawa yang kental. Kawan saya hidup diantara mereka, beranak pinak di sana. Saya menyaksikan, keluarga ini mendidik anak-anaknya mencintai sesama disamping mengutamakan kualitas intelektual.
Kawan saya, Mas Mahbub, adalah tokoh pelestari budaya Jawa. Bincang dengannya butuh lebih dari 24 jam untuk mendapatkan pengetahuan ke Jawaan. Ilmu yang telah hampir punah, filsafat jawa dia kuasai, begitu pula adat istiadat yang melekat.
Untuk mendapatkan ilmu itu saya pernah menginap di tempatnya. Berdiskusi, diantar pula ke tempat-tempat yang saya anggap bisa mendapat informasi kaitan dengan yang ingin saya pelajari.