Kedatangan saya mendampingi sekretaris Komisi 3 DPRD Kabupaten Pasuruan membuka tabir alasan mengapa bantuan atas robohnya rumah Abdul Rohim tak segera dibuka.
Takut rusak, yang menyebabkan dia harus bertanggung jawab. Itu simpulan yang saya dapat dari bincang sesaat di atas matras bantuan BPBD di bawah atap berlapis terpal bantuan Pak Camat. Ada rona suka di wajahnya tersirat kala menduduki kasur empuk ini.
"Gimana rasanya pak?"
"Enak bu, empuk," cetus Pak Abdul Rohim menyunggingkan senyum.
"Lha kenapa kok gak dipakai kemarin-kemarin?"
"Takut bu, kalau rusak bagaimana? Masih plastikan ini loh. Pasti mahal harganya. Saya gak punya uang kalau disuruh mengganti."
Gerimis haru memenuhi hati atas kecupuannya sekaligus merasa lucu dengan jawaban lugunya. Potret naif sebenar-benar rakyat jelata yang takut kena marah seseorang yang kedudukannya lebih tinggi.
Begitu pula ketika membuka barang lain, selimut.
"Takut kena keringat saya bu, nanti dimarahi Pak Camat."
"Terpal dari pak Camat juga tak berani saya pasang, nanti kalau robek bagaimana?"
Rasa inferior memenuhi mindset, terbangun beriringan dengan kemiskinan yang lekat dijalani. Hanya pada onggokan sampah dia berani berlaku semena-mena. Memungut, menguliti, melempar, mengumpulkan hingga menjual untuk dibelikan beras, pengisi energi kehidupan sehari-hari. Baginya dan ayahnya yang telah renta di rumah roboh itu.