Lembar-lembar keluh hadir lagi di hadapan, meringis diam, terasa betul perjuangan menahan kesakitan, hanya satu tanda yang kutahu dari keadaanmu.
"Yang dirasakan sekarang apa pak?"
"Kepala saya mau pecah."
Bangsal putih, botol bergantung, injeksi di pergelangan tangan menjawab tahanan erang. Sejenak kau masih menampakkan sinar dari bola matamu sebelum akhirnya meredup pejam.
Aku kini mengerti rasa sakit itu suamiku, kepala ini, ingin sekali kutaruh di almari. Direparasi agar bisa tegak saat berdiri. Terbujur aku sepertimu, tak berani menoleh apalagi berdiri.
Satu yang tak ingin kumirip denganmu. Berharap tak ada yang mengikhlaskanku, seperti dulu saat kau akan berpulang, baru pejam setelah kubisikkan kerelaan.
"Kuikhlaskan dia Tuhan, sambutlah dengan keindahan."
Pecah teriakan, lolong nestapa kulantunkan. Yang sudah kuucapkan tak mungkin kutarik telan. Aku menyesal, akhirnya aku kehilangan.
Suamiku, kubiarkan rasa derita ini mendera. Aku berjuang untuk nyawa-nyawa yang kau tinggalkan. Tuhan, tunda dulu kepergianku sampai usai pengabdianku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H