Perjalanan kesendirianku membawa pada sebuah sikap yang aku ingin sekali lepas dari hal ini. Berhubungan, menjalin kasih lagi dengan lelaki.
Godaan bertubi, sunyi membuatku merasa gembira kala ada lawan jenis mendekat, menyatakan cinta. Aw, masih ada yang suka ternyata meski usia sudah tua.
Pernikahan menjadi ujung menakutkan dari hubungan yang ditawarkan. Gayutan persoalan, mulai dari anak, hingga kekecewaan ibu menghantui. Aku tak ingin melukai mereka dengan sebuah hubungan baru, maka selalu kutolak ajakan membangun lagi rumah tangga itu.
Sedih dengan keadaan diri yang masih suka dirayu, digombali lelaki, kudatangi ahli. Psikolog yang punya keahlian Hypnotherapy. Aku ingin melupakan nama lelaki untuk kembali mantap hidup sendiri.
Kawan psikolog itu berbincang cukup lama untuk membangun kedekatan. Agar ada chemistry katanya, agar aku terbuka mencurahkan segala keluhan. Agar aku siap ketika diterapi pada alam bawah sadar.
Tidak ada yang istimewa dari perbincangan, aku extrovert, ringan saja bercerita keadaan atau apa saja yang kurasa dan kulakukan. Semua terbuka, karena aku memang tidak pandai menyembunyikan apa-apa.
Hingga dalam sebuah kondisi nyaman, aku melihat nyata sosok si bungsu dan ayahnya, suamiku. Sontak aliran bening dari mata ini makin deras. Tak terbendung.
Dia, belahan nyawa itu begitu nyata. Ada dengan sesosok wajah yang sangat kurindukan. Tanpa senyum. Potongan kenangan silih berganti datang, hingga harapan ingin melewati jembatan sirathal mustaqim berdua. Kelak bila nyawa sudah pula dipanggil yang punya.
Tidak ada rupa lain dalam imajinasiku. Hanya dia, namanya, sosok itu. Aku ingin dia. Ya Tuhan, aku betul-betul inginkan dia. Suamiku, ternyata aku hanya ingin kehadirannya dalam hidup ini.
Berkali-kali kukatakan dengan jelas diiringi air mata deras,
"Aku ingin dia."
"Aku mau dia."
"Aku hanya mau dia."