Menjadi anak yang diberi kesempatan merawat orangtua hingga usia senja lalu mengantarnya menutup mata adalah anugerah. Itu yang berlaku bagi saya beberapa tahun terakhir hingga kini.
Ada bahagia saya rasakan ketika bersama mereka. Terlebih ketika permintaan paling menjijikkan bagi sebagian orang bisa sukses saya lakukan. Semisal -maaf- menangani BAB atau hal lain yang berhubungan dengan pembuangan.
Jangankan hanya menangani pembuangan, tidur berdampingan -kelon- dengan mereka yang sepuh udzur saya tidak keberatan.
"Kamu kok betah tidur bareng Nenek, pesing tu pipisnya."
Celetuk salah satu kerabat saya ketika tahu kebiasaan menemani nenek tidur itu.
Tidak menyangka dia akan berkomentar demikian. Dalam pikiran saya hanya ingin menjaga agar nenek tidak terjatuh. Maka saya tidur di sisinya. Toh kasurnya cukup lebar. Kalau tidak, saya ya milih tidur di kursi. Menjaganya.
Tentang pesing, itu tidak saya masalahkan. Namanya sudah tua ya pasti pesing pipisnya. Beda sama balita. Dulu nenek begitu telaten membersihkan kotoran saya ketika dulu masih kecil dirawatnya.
Ingat betul betapa saya dulu meski sudah TK suka ngompol. Lalu nenek dengan telaten membawa saya ke kamar mandi mengganti baju saya, membersihkan alas tidur kami untuk melanjutkan bermimpi. Dia memeluk hangat hingga adzan subuh memanggil. Mengajak wudhu dan sholat subuh ke musholla dekat rumah.
Pengalaman bertahun diasuh nenek begitu tampak nyata di pelupuk mata, ingin sekali membalas segala yang pernah dia lakukan pada saya.
Satu hal yang tidak bisa saya lakukan ketika dia sehat. Dia perkasa, tidak mau merepotkan sesiapa. Mandiri untuk hal terkecil sekalipun. Bahkan dia selalu membantu pekerjaan kakak yang ikut hidup menempati rumahnya.
Baru ketika dia sakit parah, tidak bisa berjalan, kesempatan itu datang. Tidak mungkin saya abaikan. Maka meskipun rumah tinggal saya lumayan jauh, sekitar 1 jam dari rumah nenek saya selalu datang untuknya sepulang kerja.