Lihat ke Halaman Asli

Anis Contess

TERVERIFIKASI

Penulis, guru

Serial | Percakapan-Percakapan yang Tertinggal (1)

Diperbarui: 25 Maret 2020   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay

Aku melihat mendung dalam matamu. "Apakah kau akan merebut malam-malamku?" katamu khawatir. Malam adalah tempat bagaimana aku menghidupkan lampu. Juga tempat menumpahkan keriuhan di keheningan hatikuJuga, katamu lagi, malam adalah kesempatanku mempunyai air mata

"Bagaimana mungkin?" jawabku. "Aku akan selalu teringat dengan gambar sepasang angsa bercumbu di danau. Kitakah itu?"

Lalu angsa di gambar itu seperti menertawakan kesunyian yang makin merajam sukma.  Hujan air mata selalu saja tumpah sebelum kau menandakan kehadiran di penghujung malam. Kuseka segera ketika aroma tubuhmu mulai tercium. Menyiapkan tungku terhangat dari hati yang diamuk keinginan bertemu.  

"Apakah kau menungguku?" Tanyamu dengan senyum penuh kemenangan. Mencabik keangkuhan yang selalu saja kupertontonkan.  Malam betul-betul telah merampasmu hanya untukku.

Pelukan tererat menjawab ketidak berdayaan sendiri ini.  Lampu-lampu memang selalu kunyalakan ketika tiba temaram,  tak percaya pada sinar bulan meski bulat purnama dengan cahaya benderang. Takutku tak bisa menangkap bayang kedatanganmu.  

Padahal ketika kau datang,  lemah lunglai seringkali menimpa persendian tulang.  Tak mampu menatap hunjaman pandangan pada mata yang kupunya.  Hingga pejam menjadi satu - satunya sikap yang bisa kupersembahkan untuk menyambut belaianmu.  

Anak-anak rambut di keningku tak henti menantikan usapan,  juga garis rahang dan rona pipi ini.  Enggan berpisah menafikan keinginan kuat menolak hidup berpasangan lagi.

Sungguh aku tak inginkan itu pada mulanya,  meski kau rajin menghampiri. Kukatakan, cukup lukisan itu saja penawar hasrat terpendam dada ini. Jangan ada legalitas, karena dunia siang pasti akan menghujatku habis-habisan jika tahu aku bersuami lagi.

Ternyata kini,  tak hanya malam yang ingin kurampas dari waktumu.  Juga pagi,  siang,  sore atau senja.  Kuingin seluruh waktu bersekutu demi keberadaanmu. Percumbuan angsa mauku tak hanya untuk diingat.  Namun,  keindahan dengan segala rupa ingin kececap nyata. Mengorbankan martabat tinggi menjadi satu satunya pilihan bila itu terjadi.

Tak lagi dianggap suci atau terhormat lagi.  Kesetiaan yang mereka minta dariku untuk mendiang pendampingku seumur hidup menjadi tuntutan tak terbantahkan.  Mereka tak rela aku mendua. Karena di dalam pandangan mereka ini adalah aib.  Noda dari tuntutan kesetiaan sehidup semati,  bahkan maut tak boleh memisahkan.  Harus berlanjut hingga dunia berganti alam.

"Kalau begitu kita menikah sekarang." Katamu dengan penawaran sama seperti malam-malam terdahulu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline