Lihat ke Halaman Asli

Anis Contess

TERVERIFIKASI

Penulis, guru

Manusia Berusaha, Tuhan yang Menentukan

Diperbarui: 25 Maret 2020   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liputan 6.com

Kalimat yang begitu klise terdengar,  akrab. Kerap kali nenjadi penguat ketika orang mengalami kegagalan, keterpurukan atau perolehan yang mengecewakan. Tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

Semisal kematian karena sakit. Orang-orang sekitar pasti banyak yang menghibur dengan kata,"Kau sudah lakukan upaya, kalau dia tak tertolong itu karena umur, lahir, jodoh dan mati, Tuhan yang punya. Yang ikhlas ya."

Betul memang, tak syak diragukan. Saya pernah alami dan mengingatnya, sungguh menyayat sukma. Untuk belahan nyawa,  saya kejar kesembuhannya sedemikian rupa, berpindah Rumah Sakit,  tinggal di sana berbulan lamanya. Hanya dengan satu fokus, sembuh.  

Segenap saran dari yang masuk akal hingga yang nirlogika berdatangan,  saya tampung. Pilah dan pilih.

 Masih berupaya mengedepankan nalar sehat untuk tidak terprovokasi hal-hal yang merugikan diri sendiri. Seperti saran pengobatan alternatif aneh. Bukan saja bisa makin membahayakan keadaan penderita, misal mengkonsumsi air doa dengan ludah atau tinta bertulis rajah penyembuhan, tapi juga menjaga akidah atau keyakinan agar tak terjebak pada tingkah menduakan Tuhan.

Berdoa perlu, berusaha wajib. Hingga Ketika satu kenyataan pandangan memilukan terhidang,  kepasrahan menjadi akhir dari segala ikhtiar.

"Tuhan, kalau hidup baginya lebih baik,  berikan kesempatan menghidup udara,  menjadi khalifahmu lagi di dunia. Tapi bila menurutMu dia akan baik-baik di hadapan Mu,  ambillah dia dengan khusnul khotimah. Sambut ruhnya dengan sebaik-baik penyambutan. Pertemukan dia dengan makhluk terbaik ciptaanmu,  kekasihnya selama nafas dikandung badan di dunia. Muhammad. Satu makhluk yang tak henti dia sebut selain namaMu dalam dzikir panjang mulutnya."

"Kuikhlaskan dia untukMu ya Rabb."

Maka seketika intensitas tarikan nafasnya makin berkurang . Bisikan saya ditelinga hanya tinggal satu nama pencipta,  Allah. Agar dia ikuti dalam sadar maupun bawah sadar. Genggam tangan makin melemah,  suhu tubuh hangatnya makin berkurang,  angka penunjuk tensi tak lagi beraturan,  detak jantungpun demikian.

Hingga pada satu tanda menakutkan yang sungguh saya tak mau melihat terpampang di hadapan.  Garis lurus di layar monitor atas seluruh kabel yang melekat di tubuh tersaji.  
Berhenti, seluruh elemen gerak tubuhnya berhenti,  tak lagi terdeteksi. Mati.

Itulah puncak dari seluruh kepasrahan. Sedih duka melumuri sendi, tak mampu berdiri, padahal tadi, penuh yakin dia  saya serahkan, ikhlas. Ternyata tak semudah ucapan.

Inikah cinta sejati itu?  Yang ketika harus berpisah seolah nyawa ingin ikut pula? Andai tak ada tinggalan buah hati,  atau takut bekal ini belum cukup,  tentu saya akan utarakan,"Tuhan. Ambil nyawa ini pula. Aku ingin menemaninya."

Sampai detik ini kadang saya masih sering menghitung ikhtiar,  kurang apa usaha ini untuknya?  Sehingga harus menyaksikan dia meregang nyawa?  

Makanya,  kalau saya mendengar kabar ada yang sakit,  entah kawan atau saudara, segera  usaha menjenguk.  Melihat kemungkinan apa yang bisa dilakukan agar si sakit segera sembuh. Memaksimalkan usaha sebelum  takdir berkata lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline