Perjalanan sore dari Malang ke Bangil Selasa 14/01/2019 memberikan cerita baru dalam pengetahuan saya. Karena bau menyengat, Polsuska mendatangi tempat duduk kami. Dengan ramah dia bertanya.
" Mohon maaf bapak ibu, adakah yang membawa Duren?"
Satu orang lelaki yang duduk tepat di belakang saya, mengaku." Ya pak, saya!"
"Maaf ya pak, karena gerbong ini ber AC duriannya harus diturunkan. Kuatir ada yang muntah nanti. Dan memang aturannya dilarang membawa sesuatu yang berbau menyengat."
Wah, baru tahu saya, termasuk lelaki itu. Dengan pasrah sang lelaki itupun menyerahkan Durian atau sering dilafalkan Duren oleh masyarakat umum, yang sudah dikemas sedemikian rapi dalam kardus.
Anis Hidayatie, doc. pri
Waduh! Duren gitu loh, langsung menggelegak air liur ini. Sayang bangetlah. Buah favorit yang tak pernah saya tolak untuk dinikmati. Bayangan mencubit, mengunyah, lumer dalam lidah sampai-sampai jari ini tak jijik untuk saya jilati hadir memenuhi imajinasi.Benar- benar buah idaman. Secara mendapatkannya juga butuh perjuangan. Kalau tidak ada gratisan saya harus menabung dulu untuk membelinya. Mahal eui sebiji di tempat saya bisa 50 ribuan. Sesuai budget belanja harian.
Perkiraan saya, Duren yang sudah dipindahkan ke tas kresek hitam oleh Polsuska itu sejumlah 6 biji. Gak bisa jelas saya lihat, wong mengeluarkan durennya juga di tempat lain. Mungkin diantara sambungan rel kereta. Ruang yang tidak berAC. Supaya tidak berbau. Begitu kata Polsuska.
Penasaran, tentang ini saya tanya langsung ke petugas. "Yang dilarang dibawa selain Duren, apa saja pak? "
"Semua yang berbau tajam, termasuk ikan asin."
"Apakah aturan ini sudah ditempelkan di tiap stasiun? Seperti aturan tentang jumlah berat kargo yang boleh dibawa? "
"Tidak bu, tetapi aturan itu ada. "