Upacara, tentu bukan hal pertama kali ini saya atau banyak orang melakukan. Apalagi di Indonesia, upacara wajib hari senin rutin dilaksanakan di sekolah sekolah. Di luar negeri, saya belum tahu. Yang pasti kegiatan itu begitu familiar dengan kehidupan saya. Serta sebagian besar masyarakat Indonesia.
Namun berangkat pagi buta, usai sholat subuh saya tunaikan, membelah hutan, melawan dingin yang merangsek tulang dengan temaram cahaya lampu motor saja, baru kali ini saya alami. Untuk mengikuti upacara, nun jauh di ibukota kabupaten yang jarak dari kediaman saya sekitar 70 kilometeran. Kepanjen, halaman parkir stadion Kanjuruhan, tempat biasa Arema unjuk kebolehan. Baru kali ini saya lakukan.
Jumat kemarin, 3 Januari 2019 tepatnya, saya tunaikan niat ikut upacara Hari Amal Bhakti Kementrian Agama ke-74. Bukan karena takut dengan absen yang katanya sudah disiapkan mengantisipasi rasa malas berangkat upacara. Namun, ada beberapa hal yang mendorong saya berangkat. Ikut berdiri menatap bendera kecintaan kita. Di halaman parkir stadion Kanjuruhan, dengan bupati Sanusi sebagai inspektur upacara.
Kesempatan. Waktu menjadi hal penting yang saya tandai untuk melakukan kegiatan. Tidak ada agenda acara yang lebih utama untuk harus saya lakukan. Maka berangkat adalah sebuah pilihan. Kesempatan tidak datang dua kali. Saya ingin memanfaatkan momen itu untuk datang, mengikuti upacara dengan hikmat.
Disamping tentu saja reuni tipis-tipis dengan banyak teman yang jarang saya temui. Teman lama, teman baru seprofesi yang pernah saya jumpai di beberapa acara. Senyuman, saya suka sekali mendapatkan itu. Ditingkahi sapa ramah dan pelukan. Sesuatu yang selalu saya rindukan. Mendapatkan, hal itu betul betul saya temui di upacara itu.
Hari itu saya ingin merasakan betul makna upacara yang sesungguhnya. Seperti yang saya ajarkan pada murid-murid saya ketika mengadakan upacara di sekolah. Berdiri lama, dengan kaki mulai tua usia ini bukan hal remeh, kaku, kesemutan saya rasakan. Trik menggerakkan sedikit kaki menjadi jalan keluar menyelamatkan posisi untuk tidak jatuh.
Tidak sempat sarapan, itu salah satu penyebab utama lemasnya tenaga ini. Rupanya peserta lain setali tiga uang dengan saya. Hal itu menjadi pemantik energi bertahan. Bupati yang lebih tua usia dari saya dan beberapa teman lain bisa tetap tegak membuat saya mampu menyelesaikan kegiatan upacara hingga usai. Bahkan sampai berakhir betul, merangsek ke depan podium utama, menyaksikan langsung serunya pengumuman pemenang doorprize. Sepeda motor dari Bupati dan Umroh dari Biro Perjalanan.
Hadiah umroh dan sepeda sama-sama diraih oleh guru perempuan, bukan pegawai negeri sipil. Pemenang Sepeda motor Guru MANU Karang Ploso, Ponisri. Sedangkan pemenang umroh guru MI Al Ma'arif O7 Singosari, Istiqomatul Ilmiyah. Kesempatan wawancara dengan mereka menjadi hal lain yang berkesan.
Untuk sepeda motor jatuh ke tangan yang betul-betul menbutuhkan. Bu Ponisri baru saja kehilangan sepeda motor 2 minggu sebelum pelaksanaan upacara. Dia sangat membutuhkan kendaraan itu sebagai alat transportasi, secara rumahnya tinggal dengan tujuan sekolah bagi saya sangatlah jauh. Dari Ngajum, kaki gunung Kawi hingga Karang Ploso, dekat gunung Arjuno. Kalau saya yang nyetir motor mungkin mencapai Satu setengah Jam perjalanan, 50 km an.
Hadiah itu pas dengan motivasi bupati memberi hadiah motor. Pak Sanusi, demikian dia biasa dipanggil menginginkan agar motor pemberiannya bisa dipakai guru untuk mengajar.
"Supaya bisa dipakai guru ketika berangkat mengajar. Sebagai alat yang bisa membantu transportasinya." Tutur Bupati Sanusi ketika saya tanya tentang motivasinya memberikan hadiah motor Beat pada Hari Ulang Tahun Kemenag ke- 74 yang mengusung tema "Umat Rukun, Indonesia Maju " itu.
Sedangkan hadiah Umroh jatuh pada guru yang memimpikan betul pergi ke baitullah.
"Niat sudah ada dari dulu, cuma belum terwujud dan baru sekarang ini lewat hadiah Umrah." tuturnya pada saya ketika wawancara kemarin malam.
Peraih itu adalah orang-orang yang ditakdirkan mendapat rezeki. Kami bahagia untuk mereka. Rizki itu sudah ditakar dan takkan tertukar. Itu pasti, sehingga ketika ada yang mendapatkan nasib baik kami pun turut bersuka tak ada kecewa.
Perjalanan jauh untuk upacara pagi itu menyisakan banyak hal berharga bagi saya. Tidak ada yang sia-sia dengan perjalanan itu meski berangkat pagi buta. Silaturrahmi, efek indahnya berpendar di hati.
Sepanjang hari itu bibir saya tak henti tersenyum. Untuk saling sapa, berpelukan dengan kawan. Untuk pengalaman ternyata masih tahan berdiri lama. Untuk hal baru merangsek ke depan podium meliput acara. Untuk cerita haru biru wawancara dengan peraih hadiah utama. Serta untuk bisa kembali ke kampung halaman dengan selamat sesuai rencana.
Itulah yang saya dapatkan saat upacara. Syukur saya bisa hadir, ketika banyak orang berhalangan, atau enggan datang dengan memberikan pertanyaan olokan" Untuk apa datang ke upacara, paling dapat capek saja. "
Semua yang saya paparkan di atas rasanya cukup menjawab pertanyaan itu. Banyak hal, mendapatkan lebih dari yang saya perkirakan. BAHAGIA, rasa itu memenuhi relung hati. Sesuatu yang tak bisa diukur dengan materi. Jadi, mengapa kita antipati dengan kata UPACARA? Demi bahagia, capek sedikit tak mengapa bukan?
Malang, 5 Januari 2019. Anis Hidayatie, untuk Kompasiana
**********
Teriring terimakasih untuk bu Endang Rahmawati dan Bu Dessy Suparni serta pengawas Bapak Kusaeri.