Desember selalu saja memunculkan polemik di kalangan umat non nasrani negeri ini. -- baca : umat islam-- terutama terkait pemberian ucapan selamat natal kepada umat nasrani yang akan merayakannya pada 25 Desember jelang tutup tahun nanti.
Opini berbeda banyak muncul di kalangan umat islam. Ada dua kategori yang berkembang menyikapi hal tersebut.
Pertama, mereka yang tidak setuju dengan pemberian ucapan selamat itu. Dengan satu asumsi bahwa pemberian ucapan itu sama dengan mengakui keberadaan dan kebenaran agama nasrani. Kekhawatiran aqidah akan ikut meyakini agama itu menjadi penyebab tidak mau nya golongan ini mengucapkan selamat natal.
Ini sebagaimana ditulis oleh Wiwid Hadi Priyanto di muslim.or.id tentang alasan-terlarangnya-mengucapkan-selamat-natal-bagi-muslim.
Dia membagi alasan pelarangan itu dikarenakan empat hal, yakni :
Bukanlah perayaan kaum muslimin, menyetujui kekufuran orang-orang yang merayakan natal, merupakan sikap loyal (wala) yang keliru, nabi melarang mendahului ucapan salam
Kedua, Mereka yang setuju dengan pembolehan ucapan selamat natal itu. Dengan pandangan bahwa ini cuma sekedar ucapan , bagian dari toleransi. Tentang pembolehan ini sebelumnya ketua MUI, Ma'ruf Amin mengatakan kepada media "ucapan Natal silahkan saja" dan ia juga meminta agar "menghormati Natal dan Tahun Baru, terutama saudara-saudara kita dari agama Kristen."
Mengenai pendapat yang pro pada ucapan selamat natal ini Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Maliki, Agus Maimun yang ditemui penulis beberapa hari lalu usai dia pulang dari lawatan ke Australia mengatakan " Sepanjang tidak berefek pada aqidah, maka ucapan Selamat Natal itu boleh. "
Dia berpendapat " Tidak selalu ucapan itu mengakui kebenaran. Saling mengucapkan. Apa jeleknya ?"
Tuturnya sambil memberi ilustrasi jika diapun melakukan hal demikian. Memberikan ucapan selamat natal pada pembimbing tesis dan disertasinya yang notabene umat Nasrani.
Kontroversi ini bila digoreng lama tentu bisa menimbulkan hujat menghujat dengan ujung perpecahan. Tidak hanya di kalangan umat islam Indonesia namun bisa merambah mereka memusuhi yang merayakan natal sebagai penyebab selisih pendapat ini. Dengan ujung peristiwa bisa saja terjadi persekusi atau tindakan kekerasan lain pada kelompok yang berbeda pendapat.
Menghadapi dua mata pisau ini saya tidak bisa menyalahkan atau mendukung dua kelompok tersebut. Sebagai guru agama saya mempunyai kewajiban menyampaikan kebenaran dengan tidak mematikan adanya silang pendapat.
Maka pada siswa saya, pada orang yang bertanya pada saya satu jawaban saya berikan bila mereka bertanya apakah boleh memberikan ucapan selamat natal itu?