Hari guru, menyisakan banyak kesan padaku. Tentang profesiku, tentang bagaimana aku harus berjuang di profesi ini. Pekerjaan yang kata ibuku memiliki peluang mudah membuka pintu surga lebih besar dari yang lain. Dikuatkan kata-kata Kyaiku sewaktu nyantri jaman kuliah dulu, KH. Masduki Mahfudz. Pengasuh pesantren Nurul Huda Mergosono Malang, Guru punya kemungkinan 75 persen masuk surga dibanding profesi lain, jika dikaitkan dengan perjuangan, maslahat dan keikhlasannya.
Aku mempercayainya sejak berpuluh tahun lalu hingga profesi itu lekat kusandang sampai sekarang . Tak terasa, telah kulakukan pekerjaan rutin menjadi guru itu sejak sebelum kuliah usai hingga kini, ketika anakku duduk di bangku kuliah pula. Lama, sangat lama, lebih dari usia sulungku yang sekarang kira-kira 22 tahun an.
Selama itu banyak cerita kudapatkan terkait profesiku sebagai GURU itu. Antara lain bertahan tetap mengajar dengan gaji yang tak bisa diandalkan untuk makan. Ya, aku hanya guru swasta, bukan pegawai negeri sipil. Jadi gaji tergantung sekolah, atau apabila BOS cair. Seperti saat ini, dana Bantuan Operasional Siswa itu belum cair hingga tiga bulan, maka selama itu kami, guru di sekolah ku tidak gajian. Padahal sekarang dana BOS tidak bisa dialokasikan menggaji guru. Jadi apanya yang diharapkan?
Pemasukan sekolah? Takdir membawaku mengabdi di sebuah sekolah yang muridnya mayoritas keluarga miskin. Keputusan Kepala Sekolah menggratiskan biaya untuk mereka membuat sekolah tak berani mengadakan pungutan pada mereka. Biaya sekolah full dari dana BOS. Lancar, alhamdulillah, biaya sekolah siswa tak ada kendala, hanya gurunya saja yang harus mengencangkan ikat pinggang menunggu kebijakan sekolah membayar. Untuk guru dengan masa abdi tahunan tak terlalu bermasalah meski tidak digaji sekolahan, ada dana sertifikasi. Namun, mereka yang honorer murni, tak ada harapan lain selain dari sekolah. Bagaimana memperoleh penghasilan?
Aku tahu betul bagaimana menjadi mereka. Baiklah, seharusnya guru seperti kami, guru disekolah swasta, bukan favorit pula tahu diri dengan keadaan ekonomi sendiri. Tak boleh mengharapkan gaji, karena itu akan memengaruhi nilai perjuangan dan keikhlasan. Maka bila ada guru yang mempunyai side job selain guru aku bisa memaklumi. Mereka butuh itu untuk sumber penghasilan. Menafkahi perut anak istri. Tak bisa mengandalkan gaji bukan?
Profesi lain kami lakukan di luar jam sekolah tentu. Tuntutan pemenuhan 24 jam perminggu, dengan kehadiran 37.5 jam membuat kami tak bisa berkutik leluasa. Freelancer, banyak diantara kami menjadi pekerja lepas. Asal tetap bisa mengepulkan asap dapur saja. Mengapa tidak berhenti saja? Alih profesi? Alasan bermacam-macam, mulai dari menanti kesempatan baik hingga murni pengabdian.
Halnya aku, terdampar di daratan indah mengikuti suami. Tak ada pilihan lagi. Perempuan ini sungguh mencintai suaminya. Maka berpindahlah ia ke rumah mertua, ikut suami. Menjadi guru di dekat rumah suami, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Menuju lokasi sekolah dia lakukan setiap hari. Tak ada yang istimewa, rutin dilakukan hal itu hingga berpuluh tahun lamanya.
**********
Pertemuanku dengan maestro Leya Cattleya, the best opinion di Roemah Kuliner 24/11/2019 kemarin, pasca Kompasianival yang juga menobatkannya sebagai people choice menghenyakkan pikiran. Pada satu topik perbincangan dia katakan pernah mendapati sebuah daerah di pelosok yang muridnya harus distimulus dulu supaya mau sekolah.
" Pak guru sering terlambat hadir, ternyata masak dulu bikin nasi bungkus dijual Rp 1000 an ke murid. Ini supaya murid bisa mikir. Bila ga sarapan nglentruk."
Deg, serasa ada yang menembakku. Ya, aku pernah lakukan itu, tapi bukan dengan tujuan agar muridku punya energi, kebalikannya, yakni demi sesuap nasi. Untukku dan anakku. Tujuan pak guru yang disebut Mbak Leya tadi mulia sekali, aku terharu, menangis untuk guru -guru luar biasa seperti itu. Mementingkan muridnya daripada diri sendiri.
Sementara aku? Masih memikirkan perutku sendiri, meski jalannya sama. Menjual nasi bungkus seribuan.
Baiklah, kuceritakan. Sebagai singel parent dadakan aku mengalami gagap ekonomi. Anakku, aku dan keluargaku membutuhkan makan setiap hari. Beras di dapur hanya tinggal beberapa genggam, kalau itu kumasak maka habislah persediaan. Otakku berputar, harus kuapakan beras itu supaya bisa jadi beberapa hari. Sebetulnya ada warung tetangga, aku bisa berhutang padanya tetapi hutang itu harus kubayar bukan? Sementara gajianku sebagai guru tak tahu kapan pasti dapatnya. Lagipula kalau itu kuagunkan, apa cukup? Untuk makan setiap hari loh.