Sebagai tetangga, saya mengenalnya sejak dia masih kecil, saat masih dalam gendongan ibunya. Evi Rahmawati namanya, bukan dari golongan berada namun semangat menuntut ilmunya luar biasa.
Pendidikan SMA berhasil ditamatkannya, sesuatu yang langka, mengingat untuk ukuran desa di tempat saya, kebanyakan perempuan seusianya saat itu lebih memilih menikah ketimbang meneruskan sekolah.
Tak hanya sekolah formal, nyantri di tempat ustadzah untuk berburu ilmu agama juga dia lakukan, lepas sekolah hingga jelang menikah. Dia menikah dengan lelaki jebolan pesantren dan ikut ke daerah asal.
Namun tak lama, dia kembali ke desa ibunya untuk menempati rumah kosong milik saudaranya agar dipergunakan sebagai tempat mengajar ngaji anak-anak tetangga. Menghidupkan rumah itu dengan kalam Al Quran agar mengalirkan pahala pada yang telah berpulang, yaitu pemilik awal rumah yang masih saudaranya.
Rumahnya hanya berjarak puluhan langkah dari rumah saya, membuat saya punya ide melibatkannya mengajar mengaji di TPQ yang ada di rumah saya. Jadwal belajar yang berbeda membuat saya punya ide untuk itu. Sore hari, lepas Ashar hingga jelang Maghrib. Sedangkan pembelajaran mengaji di rumahnya berlangsung usai shalat Maghrib.
Kami mengakomodasi minat anak-anak di lingkungan tempat tinggal kami untuk belajar mengaji sesuai kesempatan dan waktu yang mereka punya. Di rumah saya bagi anak yang sempat mengaji sore dan di rumah Bu Evi bila anak tersebut berkeinginan mengaji malam hari, lepas maghrib. Yang penting bagi kami anak-anak tetangga di lingkungan kami mau mengaji, itu saja. Tak masalah di mana tempatnya.
Demi mengajar mengaji ini, Bu Evi rela hanya bertemu suaminya seminggu 2 kali, yakni pada hari Sabtu dan Minggu. Hal itu karena pada hari biasa, suami bu Evi, yang biasa dipanggil Pak Supri, harus bekerja sebagai karyawan biasa sebuah pabrik di kota Malang. Yang merupakan tempat asal sekaligus rumah kediaman yang dihuni Pak Supri, suami bu Evi bersama orangtua kandungnya sejak sebelum menikah.
Jarak rumah Pak Supri (suami Bu Evi) dan rumah bu Evi sekitar 50 km antara Pujon dan Malang. Akan melelahkan bila harus pulang setiap hari, demi berkumpul dengan keluarga. Untuk menghemat energi dan finansial itu, diputuskan waktu pulang menemui anak dan istri ketika libur bekerja saja.
Mengagumkan, pasangan suami-istri itu tidak berorientasi pada keduniaan dalam menjalani kehidupan. Mereka hanya berpikir apa bekal yang bisa dibawa kelak bila menghadap Sang Kuasa.
Bagi mereka Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) adalah jembatan yang memudahkan jalan melewati aral menuju surga yang dijanjikan. Tak apa bersusah di dunia asal mudah membuka gerbang surga ketika di akhirat. Itu adalah pandangan hidup yang membuat saya terinspirasi pula.
Hidup mereka jauh dari kata kecukupan, rumah bukan milik sendiri, dengan kondisi seadanya, lantai plester, tak ada plafon juga. Asal bisa berteduh dari panas dan hujan. Dengan ruang tamu yang diberi hamparan karpet tipis Bu Evi saat mengajar mengaji.
Ramadan kemarin, Bu Evi mengajak santrinya yang sudah pandai membaca Al Quran untuk tadarus di mushola dengan menggunakan pengeras suara, membuat peserta jadi semangat. Hal itu membuat jumlah yang bersedia tadarus makin banyak, rutin dilakukan hingga malam takbiran, menginspirasi anak muda untuk ikut meramaikan mushola dengan bacaan Al Quran pada bulan Ramadan.Saya mendapati rasa ikhlas pada mereka menjalani kehidupan, seperti tak kekurangan. Ini yang membuat saya ingin berbuat sesuatu pada Bu Evi. Sebagai orang yang membantu saya mengajar, pun sebagai tenaga sukarela yang menghidupkan Al Quran tanpa pamrih.