Bangun tidur kutengok gawai, mau tidur kuintip gawai, begitulah medsos yang keberadaanya terus mengakrabi kita tiap hari. Tak ada hari tanpa medsos, entah itu What's up, Facebook, Instagram, Tweeter atau sejenisnya. Mereka telah menguasai sebagian besar sendi kehidupan komunikasi sosial kita. Menghindarinya sungguhlah sulit, apa lagi bila sumber keuangan kita berasal dari sana pula.
Halnya ketika puasa tiba. Medsos bisa menjadi bagian penting ketika kehadirannya menunjang pekerjaan. Jual beli online, ngeblog, ikut event, mengerjakan tugas dinas, atau hal lain yang jauh dari haha hihi, sekedar ngobrol gaje tanpa arah.
Sebagaimana tuntunan puasa, selain merasakan lapar dan dahaga, maka menahan hawa nafsu bisa dikenakan pada aktifitas media sosial kita. Tak ada beda dengan menahan diri dari bertindak, berkata kurang manfaat di dunia nyata. Menahan jari untuk tidak ikut menari, mengetik kata-kata yang sia-sia juga menjadi hal utama dari bagian menahan hawa nafsu ini.
Karena, berkat jarilah semua akibat bisa dituai dari kegiatan media sosial kita. Contoh, Orang bisa ikut empati ketika mengetahui ada seorang bocah kelas 2 SD harus bekerja demi ibunya yang sakit, sehingga ikut gerakan membantu keadaannya. Bisa pula ikut membenci salah satu tokoh politik, karena berita keburukannya ketika menghardik seseorang di jalan atau ketika tertangkap tangan. Padahal belum terbukti kebenarannya, kalaupun benar. Apa hak kita ikut memusuhinya, ikut menggunjing, menyebarkan lagi berita keburukannya? Bukankah yang demikian juga dilarang?
Jari ini sering kali menjadi jembatan penyebaran kabar tak mengenakkan tentang keburukan saudara kita, atau sekadar ikut meramaikan obrolan tentang dia, sesuatu yang kalau dia tahu sedang diperbincangkan dia tak suka, ghibah. Bahkan di media sosial kita bisa berghibah. Satu hal yang sangat dilarang oleh agama.
Menahan lapar, dahaga dari terbit fajar hingga terbenam mentari mereka bisa. Bahkan tidak melakukan hubungan badan di siang hari kaum shaimun, orang yang berpuasa sangat mampu melakukan. Namun menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar, tetap saja mereka sulit menghindarkan diri mereka dari ghibah.
Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala sungguh mencela penyakit ghibah ini dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat menjijikkan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih". [Al Hujurat :12]
Puasa, mengajarkan kita untuk menahan diri dari melampiaskan hawa nafsu, termasuk nafsu bergunjing di media sosial yang bisa mengakibatkan suasana keruh, atau menyulut amarah. Sebab tak ada satupun orang yang suka digunjingkan meskipun kesalahan itu terbukti benar. Dengan puasa, kita dilatih memanajemen hati ini untuk tidak ikut melakukan hal yang dilarang, termasuk manahan keinginan jari ikut menari, menjadi salah satu bagian dari tersebarnya keburukan di media sosial.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang pernah ditulis Varia Peradilan.com sepanjang Tahun 2017 tercatat 13.829 konten negatif berupa ujaran kebencian yang marak di media sosial, 6.973 berita bohong, dan 13.120 konten pornografi. Sedangkan situs yang telah diblokir sebanyak 782.316 situs. Ini menunjukkan angka yang sangat luar biasa keterlibatan seseorang dalam hal negatif di media sosial.