Tiap kali kau melihatku menyunggi seikat kayu , atau sebongkok rumput. Selalu kau menatapku kagum, seolah merasa kalah.
Terlebih jika kumelakukan sambil menggendong bayi, buah hati. Kau ikuti kemanapun langkahku hingga lenyap ditelan kelokan jalan. Kurasakan matamu awas mengamati lakuku, tanpa suara, tanpa sapa, hanya senyum saja.
Sampai suatu saat suara lembutmu menyapa, deras air dari langit memaksaku berteduh di bawah gapura besar rumah mewahmu. Ketakutan sebetulnya aku, tapi khawatir air membasahi bayiku membuatku berani lakukan itu. Tak nyana, kau datangi aku dengan senyum ramah, menawarkan minuman hangat duduk di ruang tamu rumah.
Kau bertanya tentang suamiku yang tlah pergi demi wanita lain yang lebih seksi, kau ingin mengadopsi bayiku agar aku bisa menikah lagi, sesuatu yang bagiku tak kan kulakukan lagi.
Sebetulnya aku kasihan denganmu yang tak bisa mengandung. Tapi bayiku, hanya dia sumber napas hidupku. Kalau tak ada dia, mungkin aku tlah mati. Dia membutuhkan hidupku, dia membutuhkan air susuku.
Aku mempunyai masalah, jelas. Aku ingin bahagia, pasti. Namun satu hal, sepertinya aku sudah berkawan dengan kenyataan. Ini bukan beban apalagi penderitaan, seperti yang disangkakan tatapan orang.
Kujalani hidupku dengan sunyi, tenang dan paham. Bisa jadi sesekali aku kurang makan, minum. Tapi bagiku tak ada yang lebih nyata selain usaha.
Kau bilang merasa kalah denganku karena bisa mempunyai anak. Kubilang aku merasa kalah denganmu karena tak mempunyai cukup dunia untuk kupersembahkan pada anak. Kita seolah saling kalah. Padahal tak ada pertandingan yang menuntut kita mengalahkan.
Kutawarkan hangat pelukan sesama perempuan, berbagi kasih sayang mengasuh buah hati. Tak harus memiliki atau menguasai penuh. Tak perlu surat kuasa hak asuh. Kita sama mengasuh. Banyak anak yang tak sempat mendapat usapan kasih sayang. Kutunjukkan satu persatu nama anak sahabatku di kolong jembatan, atau di tempat penampungan.
Kami perempuan selalu kuat untuk anak. Meski darah harus mengalir, meski nanah diminta hadir. Untukmu duhai perempuan wangi, peluk kami untuk saling mengisi. Dengan anak hidupmu sempurna, meski tak bisa memiliki seutuhnya. Kita bisa berbagi cinta. Anak itu anak kita. Mari sama mengasuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H