Lihat ke Halaman Asli

Anis Contess

TERVERIFIKASI

Penulis, guru

Siswa Berani pada Guru, Salah Siapa?

Diperbarui: 14 Februari 2019   17:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Siswa berani pada guru. Itu sudah menjadi berita sejak beberapa tahun lalu. Masih teringat di pelupuk mata. Berita siswa menganiaya guru didukung orang tua yang berprofesi tentara di Sidoarjo. Ada pula guru seni di tantang duel muridnya sendiri, berujung maut karena sang guru enggan melayani di tanah Madura. Dan beberapa berita lain dari belahan bumi Indonesia. Terkini, beberapa minggu ini terulang kembali viral video siswa berani dengan guru. Pada video seorang siswa meneriaki guru dan menarik krah baju gurunya.  Tepatnya kejadian ini diwilayah kab. Gresik.

Siapa yang salah? Orang tua, murid atau guru? Menurut saya yang salah adalah pelaku. Terlepas dia guru atau murid atau orang tua murid.  Maka bila ada yang melakukan kekerasan. Siapapun dia,  hukum harus berlaku. Tidak tebang pilih. Supaya ada efek jera. Supaya ada teladan bahwa mengedepankan ketahanan emosional itu juga sangat penting.

Bagaimanapun kekerasan fisik menunjukkan  rendahnya tingkat penguasaan kecerdasan emosional  kita. IQ, intelligence quotient,  yang tinggi tidak dibarengi dengan EQ, emotional quotient yang seimbang. Ujungnya kemampuan akademik menjadi tidak berarti manakala berhadapan dengan kasus yang memerlukan kecerdasan emosional dalam menangani. 

Yang muncul adalah sikap mudah marah. Terkena gesekan sedikit saja langsung merah muka. Tersenggol badan sudah menimbulkan tantangan. Tatapan biasa dianggap melotot ajak adu otot. Ini bukti lemahnya penanaman cinta kita pada sesama.

Sebagai pendidik bila cinta yang kita berikan pada siswa tak lagi berbalas, apa mau dikata? Saya yakin tak ada guru yang mengajar anaknya bertindak kekerasan. Mungkin bila ada guru yang melakukan kekerasan verbal atau fisik itu sangat kasuistik. Tidak bisa digebyah uyah. Tapi apakah lantas bila ada guru demikian harus ditantang, dihajar untuk memberikan pelajaran? 

Terus terang saya rindu dengan guru saya dulu. Siswa dipelototi sudah menunduk. Penghormatan kepada guru demikian tingginya. Sebagaimana tertuang dalam bait lagu

"Oh ibu dan ayah selamat pagi, kupergi sekolah sampai kan nanti. Selamat belajar nak penuh semangat, Rajinlah selalu tentu kau dapat. Hormati gurumu sayangi teman. Itulah tandanya kau murid budiman."

Pesan moral dalam lagu tersebut luar biasa. Terasa betul pesan cinta pada guru dan teman oleh orang tuanya. Tak ada kata " Balas! jika kau diganggu". Atau " Hancurkan jika kau disakiti". 

Yang terjadi sekarang ini sepertinya pendidikan karakter dengan rasa cinta telah terkontaminasi ke egoisan. Undang- undang perlindungan, baik terhadap guru maupun anak rupanya tidak cukup berperan meminimalkan tingkat kekerasan pada guru atau siswa. 

Baiklah ada HAM. Tapi itu malah menjadi senjata orang tua atau murid melakukan tuntutan. Dan guru, seringkali dihadapkan pada ketakutan terkena pasal bila melakukan pembelaan ketika mendapat kekerasan. Buah simalakama. Mau dilawan terkena aturan, tak dilawan babak belur sendiri. 

Terjadinya kekerasan menurut hemat saya bukan karena muatan pendidikan kita. Tetapi lebih kepada penanaman rasa cinta kita yang gagal pada anak. Kerjasama, membangun sinergi antara wali murid dan guru dalam lembaga pendidikan tidak bisa tidak harus dilakukan. Kesepakatan terhadap visi misi serta aturan yang akan kita berlakukan dalam mendidik siswa merupakan keniscayaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline