Mentari merah jingga menampakan keindahan senjanya. Iringan camar yang pulang ke sarang memenuhi langit nampak memesona. Seolah menambah kesenduan pada rona wajah tirus Salikah.
Salikah bukanlah sang wanita peragu. Ia hanya berusaha menepis bayangan penuh romansa keindahan untuk dirinya.
Di sana para kumbang siap mengepakkan sayapnya untuk menjadi penghangat di saat lembah kesepian terperangkap dalam pekatnya malam. Seorang wanita salihah, Salikah yakin dalam diam dan doa yang senantiasa terpanjatkan, akan menistakan bilur kenangan dalam kisah nanti pilu.
Terperanjat dalam gema takbir adzan maghrib, ia bergegas untuk mensucikan parasnya dengan air kesucian cinta untuk sang Rabb. Salikah tersenyum, memancar cahaya penuh rasa syukur. wanita menawan itu mengusap-ngusap sisa tetesan air wudhu. Sejenak doa terucap dari bibir tipisnya. Salat tiga rakaat pun terlaksana dengan penuh kekhusyukan.
"Bunda, makan apa malam ini?"
Tanya si bungsu sambil menggelendot manja pada lengan sang mama. Salikah memeluk anaknya penuh cinta kasih.
"Malam ini kita makan pepes ikan patin kesukaanmu, Nak."
Si bungsu pun terlihat bahagia. Salikah menatap lekat-lekat pada anaknya itu. Menggumam dalam hati, "mungkinkah dia mau menerima anak-anaknya dengan kasih sayang? Sedangkan dia seorang perjaka, muda pula. Tak mungkin semuanya akan baik-baik saja."
"Bunda, kenapa tidak makan?"
"Oh ... iya ... nih, Bunda makan kok."
Gagap Salikah membuyarkan lamunannya sendiri.
Malam terasa sunyi. Hawa dingin memberi gigil pada pori dan hati yang tersiksa hampa kosong dari pujaan hati.