Lihat ke Halaman Asli

Anis Contess

TERVERIFIKASI

Penulis, guru

Bendera-bendera di Tanah Bencana

Diperbarui: 28 Desember 2018   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

 "Kami hidup di lombok sudah hampir 18 tahun. Sudah biasa mendapat gempa-gempa kecil. Tapi gempa kali ini memang sangatlah besar. Tapi mendiskreditkan seseorang karena berbeda politik dengan alasan theologis. Sungguh anda tidak sopan. Beliau absah untuk di kritik, silahkan.Tapi di depan musibah?"

Aku tahu lanjutan bait nelangsa teman Lombokku, dia mengalaminya beberapa waktu lalu, sungguh tak sopan memaki seseorang saat musibah datang, saat ada kejadian musibah bencana.

Baiklah, mungkin seseorang itu tidak sempurna, atau mendekati ekspektasi yang diharapka. Namun mengkritisi kelayakannya sebagai tokoh, sebagai pemimpin, mengoreksi keburukannya, apalagi menistakan kebijakannya, di tengah derita demi alasan politik semata sungguh mengguncangkan jiwa.

Bait-bait ucapan di atas disuarakan sahabatku. Dia telah menetap di Lombok selama kurun 18 tahun lamanya, suaminya seorang Profesor, dirinya sendiri memilih mengabdi di rumah sembari menjadi editor atas buku-buku yang ditulis suaminya. Pasangan serasi, kompak,  yang bikin iri . 

Kali ini aku tahu menderitanya dia. Rumah asri yang dihuni, tak lagi dia berani tempati, tenda darurat dia dirikan bersama pemukim lainnya di perumahan. Sekedar menghindari getaran, yang siapa tahu akan makin membesar dari detik ke detik sesuai pergerakan lempengan. Aku berempati, aku ikut rasakan, betapa susahnya dia. 

Dingin malam tertidur tak berani mendengkur. Waspada antara mata terpejam dan awas pendengaran, siapa tahu ada sirine gempa dibunyikan. Itu artinya, malam tak bisa dilewatkan dengan lelap, nyenyak. Harus segera bangkit, selamatkan diri dari reruntuhan yang mungkin menimpa kepala atau badan ini.

Bencana ini siapakah yang menginginkan? Tapi memaki seseorang saat musibah terjadi sungguh memekakkan pendengaran.

"Yuk, apakah njenengan sampai saat ini masih tidur di tenda?"

"Injeh nis."

Ya Allah, aku ingin memeluknya, sekedar memberikan kehangatan, merasakan gempa ini berdua, yang menggetarkan rasaku sebagai manusia, andai aku jadi dia.

" Big Hug Nis."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline