Lihat ke Halaman Asli

Anis Contess

TERVERIFIKASI

Penulis, guru

Percakapan dengan Usus

Diperbarui: 17 Desember 2018   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Belukar dingin masih menyemut, runtut menerpa kulit epidermis pipi, telapak tangan dan kaki, baru menghangat setelah kusibak dengan segelas susu coklat, uapnya kuhirup nikmat, kubaui panasnya, kudekap gelasnya dengan kedua telapak tangan, baru pelan kuangkat, bismillah, sruput, ahh, nikmatnyaa.

Saat lidah mengecap, jilatan rasa manis gurih bersemayam lebih lama, melewati kerongkongan sedikit demi sedikit, mengalirkan hangat hingga berjumpa usus perut, dia bernyanyi lagu rindu makanan berat, bukan hanya minum yang dibutuhkan usus, tapi pengganjal lapar berwujud karbohidrat.

Baiklah kan ku urus kau nanti usus, tunggulah sebentar biarkan aku membungkus susu coklat ini menjadi ber bungkus-bungkus plastik terlebih dahulu, nanti kutukar mereka dengan lembar uang, hingga menjadi seperangkat menu makanan, siap kupersembahkan untukmu wahai usus di perutku.

Belantara pagi dingin berkabut menyambutku di jalanan, tak ada orang, pada siapa harus kutawarkan? Biasanya ibu-ibu menggendong putra bayinya berjemur, anak-anak pun tak kulihat berlarian di perempatan, sepi.

Sebetulnya ada tempat lain yang ramai, biasanya laris manis bungkusan  susu ini terjual, di sana tempat sapi kambing di perdagangkan, tapi aku tak ingin ke sana, karena mereka para blantik dan kuli itu, tak hanya ingin membeli susu plastikku, tapi menggoda kurang ajar pula, entahlah,  kenapa lelaki begitu bila mendengar teriakanku  ," sussuuu!"

Tertumbukku pada sebuah pos kamling, berhenti sebentar, dingin masih merasuki tulang, agar sedikit hangat kurasakan, pada dingin ini kuteriakkan," Sussuuu, susssuu!" Lantang sekeras mampuku melakukan, memecah kesunyian, memunculkan uap hangat di bibir ini saat melantunkan teriakan berbunyi " Susu".

Bak penyanyi yang sedang olah vocal, teriakan itu kurasa makin merdu terdengar. Satu anak menghampiri, " Beli susunya bu !" 

Alhamdulillah, dialah pembeli pertamaku, penglaris, pemecah utuhnya dagangan, selanjutnya, datang beruntun pembeli menghampiriku, tak perlu susah lagi aku harus berkeliling, di poskamling itu bungkusan susu coklatku tandas dengan cepatnya, mungkin karena masih panas, mereka, para pembeli itu butuh panas untuk mengusir dingin.

Krat dagangan susuku telah ringan, kosong, berganti lembaran uang, bergegas ku mampir ke warung nasi empog mbak sih, membeli sebungkus nasi untuk ususku nanti.

"Sabar ya ususku, kita makan di gubuk saja, kan kubagikan bungkusan nasi ini dengan emak yang sedang menunggu di sana. Kasihan dia, pasti ususnya pun sedang mendendangkan lagu lapar, sama dengan dirimu".

Mentari mulai mengintip, hangat sejenak menyapa wajah, dingin kembali kurasakan saat motorku membelah angin jalanan, menuju gubuk kecilku yang disebut orang rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline