Lihat ke Halaman Asli

Mam Ria, dan Mata Kuliah yang Membuat Mahasiswa Kabur dari Kelas

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya dan teman kantor, sedang berbincang mengenai pengalaman semasa kuliah. Salah satu topik yang paling menarik adalah tentang dosen killer. Istilah killer, kadang diberikan kepada dosen yang mempersulit mahasiswanya dalam proses belajar, atau tidak memberi toleransi dalam hal memberikan nilai mata kuliah.

Teman saya begitu bersemangat membuat list dosen-dosen killer dari fakultasnya. Dan saya pun mengerahkan segenap kekuatan mengingat tentang dosen-dosen saya yang layak mendapat gelar killer. Saya tak menemukan satu pun. Seingat saya, di fakultas saya—Fakultas Ilmu Budaya—tak ada satu pun dosen yang bisa mendapat gelar itu. Semua dosen yang saya ingat sangat terbuka dengan mahasiswanya dan tidak ada yang sengaja mempersulit.

Tapi ada salah seorang dosen perempuan yang tak pernah bisa saya lupakan. Ibu Ria Jubhari. Kami biasa memanggilnya Mam Ria. Jika ada teman yang memaksa saya menyebut nama salah satu dosen killer dari fakultas saya, dengan terpaksa saya akan menyebut namanya.

Sebenarnya, Mam Ria buat saya bukanlah seorang dosen killer. Ia hanyalah seorang dosen disiplin dan berusaha menerapkan kedisiplinan itu pada para mahasiswanya. Sayangnya, kedisiplinan yang ia terapkan selalu membuat separuh kelas memilih mendapat nilai Error dan mengulang semester berikutnya.

Namun ada satu hal tentang Mam Ria yang kadang membuat saya termenung. Saat ini, setelah lebih dari 2 tahun lamanya saya mendapat gelar sarjana dari Jurusan Sastra Inggris Unhas, saya seakan sulit percaya bahwa, selama 4 tahun kuliah, hanya mata kuliah dari Mam Ria yang begitu membekas di otak saya. Dengan tolol, saya kadang bertanya dalam hati sendiri, apa saja yang saya lakukan selama 4 tahun kuliah? Dan apa yang dilakukan Mam Ria sehingga mata kuliah yang diberikannya dulu begitu membekas di ingatan saya?

Mam Ria seorang dosen berperawakan mungil dan berkulit putih. Saya pernah mendapat mata kuliahnya selama 2 semester, Writing I dan Academic Writing. Ini bukan mata kuliah yang gampang. Kami harus berlatih membuat tulisan ilmiah dalam bentuk esai dalam bahasa Inggris.

Dalam kelas, Mam Ria tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia. Ia menggunakan bahasa Inggris dengan cara yang menurut saya sangat keren. Biasanya, Mam Ria akan memberikan penjelasan mengenai struktur tulisan. Kami diberi contoh tulisan, selanjutnya diminta membuat tulisan sendiri dengan topik yang telah ditentukan. Setiap pekan, kami diberi tugas menulis esai dalam bahasa Inggris yang akan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.

Dalam memberikan materi kuliahnya, Mam Ria memang cukup ketat dalam hal kedisiplinan. Tidak ada kompromi untuk mahasiswa yang tidak membawa buku diktat. Mereka akan diusir dari kelas tanpa ampun. Dengan cara yang halus tentu saja.

Seingat saya juga, Mam Ria adalah salah seorang dosen yang tak pernah terlambat masuk kelas. Ia akan berada di pintu kelas tepat ketika jam kuliah seharusnya dimulai. Ia tidak pernah datang terlambat atau datang terlalu cepat.

Mam Ria bahkan sudah menunggu di luar kelas sebelum mata kuliah dimulai. Saya pernah memperhatikan, ia duduk seorang diri di dalam mobilnya yang diparkir tak seberapa jauh dari ruang kelas, beberapa menit sebelum mata kuliah dimulai. Dan sekitar 2 menit sebelum mata kuliah dimulai, Mam Ria akan membuka pintu mobilnya dan berjalan ke kelas kami. Begitu ia menuju kelas, kami akan langsung duduk dengan rapi dan ruang kelas seketika menjadi senyap.

Dosen lain masih menerima dengan ikhlas mahasiswa yang terlambat hingga 30 menit untuk masuk kelas. Tapi dengan Mam Ria, mahasiswa yang terlambat 5 menit akan memilih melewati ruang kelas menuju kantin.

Kedisiplinan Mam Ria bagi saya, seperti latihan. Seorang teman pernah berkata, kami seperti dipaksa menerapkan kedisiplinan bak tentara. Tapi di sisi lain, latihan ini sekaligus menjadi siksaan. Kami tidak terbiasa menjalani rutinitas dengan disiplin, bahkan sejak sekolah dasar. Makanya, ketika tiba-tiba kami menemukan dosen seperti beliau, kami menjadi begitu tertekan.

Di kelas saya dulu, tak ada seorang pun yang tak mengaku tersiksa dengan sistem belajar yang dijalankan Mam Ria. Satu lagi yang membuat Mam Ria populer dikalangan senior-senior saya adalah, beliau sangat jarang memberi nilai A. C saja sudahsyukur minta ampun. Konon, Mam Ria sangat objektif dalam memberikan nilai. Kalau ada mahasiswa yang mendapat nilai A atau B, itu berarti mereka memang benar-benar layak mendapat nilai itu di mata Mam Ria.

Tak banyak teman saya yang bertahan mengikuti mata kuliah Mam Ria selama 1 semester. Dari sekitar 20an mahasiswa dalam 1 kelas, biasanya separuh di antaranya memilih batal. Ada yang sengaja membatalkan mata kuliah dan memilih dosen lain semester depan, dan ada pula yang sengaja tidak masuk kelas sepanjang semester dan rela mendapat nilai E.

Di antara separuh isi kelas yang memilih membatalkan kuliah, saya adalah salah satu yang berusaha untuk bertahan. Dulu saya berpikir, saya tidak akan pernah bisa tahu seberapa menakutkan ikut dalam kelas Mam Ria jika saya tidak pernah mengalaminya. Mam Ria, satu-satunya dosen yang membuat saya tidak berani bolos 1 kali pertemuan pun.

Ketika semester berakhir dan nilai mata kuliah keluar, saya menemukan satu hal ajaib. Saya mendapat nilai A. Di kelas saya, yang dapat nilai A hanya 2 orang. Sisanya, paling banyak mendapat nilai C dan sedikit yang mendapat nilai B.

Saya tidak dapat menggambarkan perasaan saya ketika itu. Rasanya seperti terbang di awang-awang. Mendapat nilai A dari dosen lain bukan sesuatu yang luar biasa. Tapi jika yang memberikan adalah Mam Ria, hal ini jadi sangat luar biasa. Beberapa teman pun sempat heran ketika tahu saya dapat nilai A.

Saya memang tidak menonjol dalam mata kuliah lain, yang saya perkirakan penyebabnya bukan karena saya bodoh, melainkan karena di mata kuliah lainnya saya selalu bersemangat untuk bolos. Kadang, jika saya dalam kelas gabungan, dengan jumlah mahasiswa yang terlalu banyak, saya hanya masuk kelas untuk mengisi absen. Begitu dosen berbalik menghadap papan tulis, saya langsung berlari ke luar kelas. Tapi dengan Mam Ria, saya akan setia duduk menunggu selama 15 menit sebelum kelas dimulai sambil membuka-buka pelajaran minggu sebelumnya.

Satu lagi pengalaman yang tak pernah saya lupa selama mengikuti mata kuliah Academic Writing bersama Mam Ria. Suatu ketika, saat kami mengumpulkan tugas esai, Mam Ria berkata, seseorang yang ingin menghasilkan tulisan sempurna harus menulis dengan hati, bukan dengan tinta. “Dan selamat, kamu berhasil melakukannya. Kamu benar-benar menulis dengan hati!” Kalimatnya itu ditujukan kepada saya sambil mengacungkan lembaran kertas tugas saya. Perasaan saya berkecamuk. Saya sama sekali tidak senang dengan pujian itu. Karena saya sadar, menerima pujian dari Mam Ria menimbulkan sebuah beban berat. Saya merasa terbebani karena khawatir jika tulisan saya berikutnya malah mengecewakan. Jika itu terjadi, maka pujian itu tentu tak ada artinya.

Kini, 2 tahun lebih saya mendapat gelar sarjana, saya benar-benar sadar satu hal. Dari sekian banyak mata kuliah yang saya dapatkan dulu, Academic Writing adalah yang paling membekas dalam ingatan saya. Dan saya tiba-tiba rindu ingin berada di kelas Mam Ria lagi.

Saya sadar, bukan berarti Mam Ria jauh lebih baik dari dosen lain dalam mengajar. (Bahkan saya yakin sebagian besar teman kuliah saya dulu akan menilai ia paling buruk karena kedisiplinannya). Saya hanya telah berusaha dengan lebih keras pada mata kuliah Mam Ria dan kadang menyepelekan mata kuliah dari dosen lain.

Dan saat ini, ketika saya sedang ingin kuliah lagi untuk gelar Master, saya tak henti-hentinya menyesali diri. Saya sangat menyesal di kelas lain saya belajar tidak seserius di kelas Mam Ria. Ya, saya sungguh menyesal. Saya sempat berpikir untuk menghubungi dosen-dosen saya dulu, dan meminta izin agar saya diperbolehkan ikut belajar di kelas mereka.

Saya sudah hampir melakukannya, ketika tersadar bahwa dosen saya mungkin akan menganggap saya kurang kerjaan dan adik-adik junior saya akan menganggap saya gila. Di samping itu, pekerjaan yang saya lakoni saat ini tidak memungkinkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline